Dekat?

7 4 0
                                    

Nama lu Bintang? Cocok ya, sama gue. Gue Langit, kalo lu Bintang dan gue Langit. Bisa dong, kita bahagia tanpa ada Awan.

-Langit

"Kak, jang-"

"Stststst!" seru Langit pelan.

Bintang terdiam, jarak mereka terlalu dekat, hanya dua inci dari sini.

"Lu habis nangis, ya?" tanya Langit.

Bintang terkejut, mendengar pertanyaan Langit yang dia rasa tiba-tiba.

"Lu nggak mikir kalo gue mau nyium elu, 'kan?" tanya Langit curiga.

Spontan Bintang menggelengkan kepalanya berkali-kali, mengingkari yang dikatakan hatinya.

"Jadi, lu beneran nangis? Kenapa?" ulang Langit lagi.

"Kenapa, Kakak nanya gitu? Jangan sok tahu!" seru Bintang pelan.

"Ini bukan sinetron FTV, Tang. Eh bener 'kan? Nama lu Bintang? Cocok ya, sama gue. Gue Langit, kalo lu Bintang dan gue Langit. Bisa dong, kita bahagia tanpa ada awan."

Langit mengerlingkan matanya jahil, dia hanya ingin bercanda. Agar suasana tak terlalu canggung. Bintang hanya diam, Awan lagi? Dia muak dengan nama itu.

"Eh? Kenapa nangis? Ya ampun, apa gue salah bicara?"

Langit gelagapan, melihat tetesan air yang menganak di pipi Bintang. Bintang hanya diam, berusaha mengenyahkan air mata itu.

"Tang, gue salah ya? Ya ampun gue cuma mau bikin suasana nggak terlalu awkward kok! Lu kenapa? Astaga,? Maaf, Tang. Iya, iya gue diam."

Ceklek

Pintu kembali terbuka, tak ada pembicaraan lagi antara Bintang dan Langit. Nampak tubuh paruh baya Bu Veronica memasuki ruangan itu.

Cukup lama, Bu Veronica menjelaskan beberapa kisi-kisi dan pengarahan kepada mereka berdua. Tentang kerja sama tim, dan tentang hadiah itu. Langit dan Bintang mendengarkan dengan seksama, mengangguk bersamaan pertanda paham. Setelah urusan mereka selesai mereka berpisah, di perempatan kelas IPA dan IPS. Tak ada tegur sapa lagi, apalagi candaan ringan.

Langit berjalan ke arah kelasnya, bibirnya bersenandung pelan.

Sementara Bintang, ingin mengklarifikasi kejadian tadi. Tapi, dirinya terlalu takut untuk sekedar menegur Langit.

Suasana koridor sepi, seluruh makhluk telah pulang ke habitatnya masing-masing.

"BINTANG!" teriak Langit kemudian.

Bintang berbalik menatap Langit yang tak menghadap ke arahnya.

"Jangan sedih, kalo lu sedih nanti bintang di langit berkurang satu," cetus Langit santai.

Bintang tersenyum tipis.

"Bintang, kalo tersenyum itu yang ikhlas, Tuhan aja ikhlas ngasih lu bibir. Kenapa lu senyumnya nggak ikhlas?"

Bintang tertawa, mendengar celotehan Langit. Setelah dirasa selesai, Bintang berbalik menuju kelasnya. Hingga suara itu kembali menghentikan langkahnya.

"BINTANG!" teriak Langit, lagi.

Lagi, langkah Bintang terhenti.

"Ketawa lu cantik, ketawa terus ya!" teriak Langit lalu pergi, berlari menuju kelasnya.

Bintang tersenyum, lagi. Kali ini bebannya sempurna menghilang, diam-diam hatinya mengucap syukur kepada Tuhan. Lalu, Kakak kelasnya, Langit Anggara.

"Bintang!"

Bintang berbalik lagi, seketika lidahnya kelu.

°~°

Langit bernyanyi, dengan santai kakinya melangkah ke luar kelas. Pesan chat dari Sunny, telah dia terima semenit yang lalu. Entah kenapa, menggoda gadis bernama Bintang membuatnya jauh lebih semangat.

Karena, Sunny. Langit jadi membatalkan janji-janjinya kepada beberapa pacarnya itu. Astaga, memikirkan pacar dan taruhan membuatnya pening seketika. Ponselnya berdering, muncul sebuah foto di benda itu.

Langit mengerutkan kening bingung, bukankah dia telah mengiyakan ajakan gadis ini. Begitu pikirnya. Tanpa pikir panjang, cowok itu mengangkat telepon, sambil berjalan ke arah parkiran.

"Iya, wa'alaikumussalam."

"Kecoa terbang, lu lama amat kek siput sakit kaki! Mana janji lu astaga, masa kudu gue ingetin mulu sih!" teriak orang di ujung telepon.

"Iya, Ny. Lu kan tahu gue. Kalo udah janji, bakal ditepatin, ini gue otw ke sekolah lu!"

"Ter-lam-bat."

"Lu pikir ini jam masuk kelas?" tanya Langit kesal.

"Lu lambat, Bambang. Astaghfirullah Surti, kenapa pula Bunda ngelahirin anak nggak jelas kek Si Kucrit ini," keluh suara itu lagi.

Langit mengepalkan tangannya kesal. Saking kesalnya, Langit meninju udara. Bibirnya bergerak-gerak meremehkan

"Nggak usah lu pake acara kesal kesal kek cewek pms gitu! Pake acara gerakin bibir gitu, bukannya imut malah eneg."

Langit diam, dia heran kenapa Sunny bisa menebak apa yang dia lakukan.

Bug

Sunny melempar ponselnya ke kepala Langit, Langit mengaduh sakit.

"What? Ny? Gue nggak mau ya beliin lu ponsel lagi!" seru Langit, menatap nanar ke arah ponsel hancur di bawahnya.

"Siapa juga yang minta beliin ponsel!"

"Terus?"

"Ck, lu nggak nyadar, ya? Itu 'kan salah satu ponsel elu, Lang," tutur Sunny santai.

Langit menganga mendengarnya, jadi yang Sunny pakai bukan ponselnya. Astaga kenapa dia tak menyadari itu semua.

"Lu kesini sama siapa?" tanya Langit, mencoba sabar dengan gadis berambut panjang ini.

"Sama, sendiri lah bego! Kalo gue sama temen nggak mungkin gue minta dijemput elu! Mikir dikit dong!"

"Astaga, Ny. Lu kenapa? Senggol dikit bacok, lagi megang prinsip itu?" tanya Langit lagi.

"Budu, ah! Pokoknya gue laper, mau makan di rumah lu! Ayo pulang," ajak Sunny, menarik tangan Langit.

Langit mengikuti arah langkah Sunny, sesekali Langit mengangguk-ngangguk. Mengiyakan seluruh cerita dari mulut Sunny, dalam hati dia membenarkan dugaannya. Jika Sunny sedang PMS, alias menganut prinsip senggol bacok.

"Arghhh ... tolong...."

Langit dan Sunny menoleh bersamaan, mendengar suara teriakan itu.

.
.
.
.
.
.

Happy Reading
Mila-chan💆🏻

SiriusWhere stories live. Discover now