Permainan Sebenarnya

17 2 1
                                    

Jujur saja, aku sedikit bersalah lepas bangun salat shubuh tadi. Bukan karena malu atau apa, aku memang menghindari kak Langit. Saat aku keluar kamar, Om Drey dan Tante Anna menyapaku singkat, lalu mereka pergi. Entah ke mana, memangnya itu urusanku? Aku tahu mereka sebenarnya hangat, serangan musim semi di Jepang — walau aku tak pernah ke sana.

Reyna meneleponku, dua puluh menit setelah aku bengong nggak jelas di taman rumah Kak Langit.

"Iya, Assalamu'alaikum Rey."

" Wa'alaikumussalam, Bintang lu sehat?" tanya Reyna di seberang telepon.

Aku pindah ke taman depan, mencari suasana lain.

"Alhamdulillah, gue sehat banget, Rey," jawabku pelan. Helaan napas lega terdengar dari sini, ah sahabatku mengkhawatirkan aku rupanya. Dadaku mengembang gembira.

"Lu di mana?"

"Rumah Kak Langit."

"What! Lu ngapain ada di sana? Lu nggak apa tapi, 'kan? Lu nggak di apa-apain Kak Langit, 'kan?" tanyanya bertubi-tubi, dari nada bicara Reyna. Jelas kentara dia begitu cemas, apalagi dalam penglihatan Reyna. Kak Langit salah satu cowok menyebalkan yang pernah dikenalnya.

"Santai aja kali, Rey. Setelah hadiah lomba itu dibagikan, gue kan mau buka usaha. Gue nggak selamanya numpang di rumah Kak Langit, kok. Walau sih di sini enak banget, sumpah. Lu pasti suka main ke sini," candaku, berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang bersemayam di otak cantik Reyna.

Reyna menghela napas gusar, aku bisa merasakannya.

"Maafin gue, Tang. Harusnya gue ada di rumah kemarin, oh iya. Katanya lu mau cerita perihal kak Awan?" tanya Reyna, mengalihkan topik pembicaraan.

Aku terkejut, memori tentang pengakuan itu terputar lagi. Tanpa ditutup-tutupi, aku menceritakan semuanya ke Reyna. Reyna menangis sesegukan, mendengar sederet cerita hidupku.

"Hidup gue drama banget ya, Rey," celetukku pelan.

"Lu yang kuat ya, Tang. Maaf gue belum bisa ada buat elu, gue belum bisa jadi temen yang baik buat elu." Isakan kembali terdengar, aku sibuk menenangkan Reyna.

Astaga, cewek satu itu urusan mellow memang nomer satu.

"Lu tahu nggak, Rey?" Aku mencoba mengalihkan topik lainnya.

"Apa?" sahut suara Reyna, bindeng.

"Gue semalem nampar kak Langit." Tangan nakalku memainkan rumput di depan kaki telanjangku. Aku memilinnya, seraya memasang headphone ke telinga. Agar aku leluasa berbicara dengan Reyna.

"Gila?! Demi apa?" Reyna tampak terkejut, sepertinya dia mulai tertarik dengan pembahasan ini. Aku menceritakan kejadian semalam, Reyna memberi tanggapan beragam. Kebanyakan dia berkata, "Masa sih, Tang? Lu serius? Nggak becanda?"

Aku sampai kesel sendiri jawabnya, masa iya aku lagi ngelawak. Kan nggak mungkin, ada-ada saja jawaban sahabatku itu.

Cukup lama kami mengobrol, ke sana ke sini bak teman yang tak bertemu bertahun-tahun. Hingga bunyi khas ponsel mati, membuatku terpaksa memutuskan sambungan telepon. Tanpa mengucap salam perpisahan. Ah, aku lupa mengisi daya bateraiku.

Aku berdiri, berniat masuk ke kamar tamu — tempat aku menginap semalam. Setelah aku mengisi daya baterai, aku mendengar percakapan dari sepasang sahabat. Mereka pelukan, iya serius. Nggak ada satu pun makhluk yang peduli, pembantu Kak Langit yang lalu lalang di sana seakan buta.

Aku rasa tak perlu mendengarkan dan menguping pembicaraan mereka, akhirnya tungkai kakiku memutuskan untuk mandi.

•~•

"Tang," panggil seseorang, mungkin Sunny.

Dia mengetuk pintu penuh irama.

"Iya bentar, gue masih ganti baju," sahutku.

"Oke, cepat ke bawah ya! Lu pasti belum sarapan, 'kan? Orang mau lomba itu perut harus terisi."

Setelah itu suara langkah kaki menjauh dari pintu, sepertinya Sunny menuju ke ruang makan.

Aku memakai seragam cepat-cepat, mengepang rambut panjangku dan menyusul Sunny. Suka tidak suka, mau tidak mau, aku harus berhadapan dengan kakak kelasku — Langit Anggara.

Aku duduk di kursi dengan perasaan canggung, menatap Kak Langit takut-takut. Yang ditatap sibuk menghabiskan makanan di depannya, lalu meneguk segelas susu. Balik menatapku.

"Tang, soal semalem gu—"

"Maaf, Kak. Nggak seharusnya Bintang bilang gitu ke Kak Langit, nggak seharusnya Bintang bersikap seolah-olah kita kenal lama. Bintang terlalu lancang, Kak. Maafin Bintang." Aku menunduk, aku takut tiba-tiba diusir dari sini. Yang benar saja.

Perlahan aku mengangkat kepala, menatap Kak Langit bergantian dengan menatap Sunny yang berada di sebelahnya.

"Ngapa lu minta maaf?" tanya Sunny mengangkat sebelah alisnya.

Satu-satunya cowok di dekat kami telah tertawa terbahak-bahak, sejenak aku terpesona dengan tawanya. Tapi hanya sejenak, aku langsung mengalihkan pandangan.

"Justru gue mau bilang terima kasih sama lu."

Kak Langit berucap di sela-sela tawanya yang masih awet kek ikan sarden penuh pengawet.

Aku melongo mendengarnya, apa iya? Kak Langit begitu terpesona dengan kata-kata anehku semalam?

"Udah ah, ayo berangkat. Kita makan di luar aja, sekalian otw ke lomba," ajak Kak Langit.

Detik, menit serta jam berlalu begitu saja,  kami juga sampai di tempat lomba dengan selamat. Sunny mengacungkan dua jempol. Menyemangati kami, bahkan jika ini pertandingan bola basket. Aku yakin Sunny dengan senang hati joget-joget di lapangan sana.

Tanpa aku sadari, hari itu tak sesukses yang kami kira. Permainan sebenarnya telah dimulai.

.
.
.
.

Happy Reading
Mila-chan🦋

SiriusWhere stories live. Discover now