Waktu, memang terlalu sering bermain-main. Tidak pernah peduli, yang diajak main mau atau tidak!
-Langit AnggaraMalam yang begitu cerah, tetapi tidak dengan wajah Langit yang keruh. Dengan kesal dia menendangi batu di jalan. Sampai tungkai kakinya, membawa ke atap kantor Ayahnya. Atau biasa disebut rooftop. Tepat di sana, di pojokan. Langit menyaksikan seorang gadis berambut panjang yang tengah memeluk lututnya. Bahunya naik turun, ah sepertinya dia tengah menangis. Langit masih asyik memperhatikan siluet itu. Batinnya terus berteriak agar mendekatinya, otaknya berasumsi gadis itu ingin bunuh diri. Setelah sekian lama bersembunyi. Gadis itu berdiri, lalu pergi. Langit masih setia diam di situ.
"Langit! Kamu ngapain di situ?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah pergi setan pergiii!" seru Langit sambil melantunkan ayat kursi di dalam hati, dan menyuarakan istigfar berkali-kali.
"Enak aja, ganteng gini dibilang setan!" omel pria paruh baya itu kesal.
"Ampun, Ayah! Astaga makanya Ayah, jangan ngagetin gitu dong!" protes Langit. Wajahnya misuh-misuh.
"Ayah dapet perintah dari yang mulia Bunda, karena ponsel kamu nggak aktif. Kamu ganti nomer? Atau Bunda kamu blokir? Jahat banget jadi anak kamu, Langit!"
"Ayah, suudzon itu dosa!"
"Siapa bilang suudzon masuk surga?"
Langit memutar bola mata kesal, enggan menanggapi ayahnya lagi. Dengan menghentakkan kakinya, Langit meninggalkan Ayahnya.
"Lagian, ngapain kamu di rooftop malam-malam gini?" tanya Ayahnya.
Langit menggeleng menanggapi, ayahnya berucap lagi, "nggak belajar?""Langit bosan Ayah, belajar terus ih. Kurang apa Langit kan udah pintar. Udah juara ini itu, tapi disuruh belajar terus ih!" keluh Langit, akhirnya dia bisa menyuarakan isi hatinya.
"Langit! Nggak semua orang bisa jadi seperti kamu, masih banyak orang di luar sana yang ingin sekolah tinggi. Tetapi demi tanggungan hidup mereka rela menjual seluruh waktunya hanya untuk bekerja. Bersyukur Lang, semua itu tak ada yang mudah. Kamu harus berusaha!" nasehat Ayah, matanya menatap Langit.
Langit menunduk, menurutnya menatap sepatu ketsnya lebih menarik daripada menatap wajah Sang Ayah.
"Yasudah, sana cepat makan. Jangan kabur lagi pas acara!" peringatan Ayah, lagi.
Setelah itu, Ayah pergi. Meninggalkan langit di riuhnya pesta. Langit benci yang namanya pesta, semua ponselnya berada di dalam kamar. Hanya satu di genggaman, itupun tak ada satupun notice yang mampir di gawainya itu. Dengan malas, Langit memainkan jari-jarinya sendiri. Hingga satu peristiwa yang membuatnya terkejut, Kevin menelponnya.
"Assalamu'alaikum, ya?" jawab Langit.
"Ngapain lu?" tanya Kevin di seberang telepon.
"Salam itu dijawab, Bambang. Ngapain lu nanya-nanya?"
"Cuma mau ingetin, cari pacar lagi! Kurang dua tahu!"
"Lu kata cari pacar itu gampang? Kek nyari gorengan di pasar? Gitu menurut lu?"
"Heh, sekali lagi gue ingetin, Lang. Itu persyaratan penting buat jadi temen gue! Masuk anggota geng gue! Lu nggak bisa nolak apapun!" tegas Kevin memutuskan sambungan telepon.