Teman itu nggak mandang apa pun, mereka membantu tanpa syarat apa pun. Ikhlas, bersedia ada di mana pun lu berada. Itu arti teman sebenarnya.
-Bintang
Malam ini, aku berada di kamar tamu — rumah Kak Langit. Selepas Sunny mengantarkan aku, cewek humble itu sibuk berdebat dengan Kak Langit. Aku malas bertanya serta malas ikut campur, lagian terserah mereka mau memperdebatkan apa.
Besok waktunya, lomba Internasional itu—yang selama ini aku harapkan akhirnya terwujud. Guru kami Bu Veronica memberikan satu dua wejangan kemarin, tentu saja sebelum pertengkaran aku dengan kak Awan — ayah kandungku.
Helaan napas lelah terdengar jelas dari indera pernapasanku, mataku tinggal lima watt lagi. Lirih aku berdoa, semoga besok baik-baik saja.
"LANGIT! SUDAH AYAH KATAKAN SEBELUMNYA! YANG PERLU KAMU LAKUKAN ITU BELAJAR! BUKAN MAIN-MAIN NGGAK JELAS!"
Aku terlonjak kaget, kantukku sirna seketika, bagaimana tidak kaget suara itu begitu lantang. Kakiku berjingkat-jingkat, berniat mengintip.
Terlihat jelas dari lubang kunci ini, Kak Langit tertunduk. Lelaki paruh baya di depannya enggan melihat wajah melas Kak Langit, mata lelaki itu menatap tajam. Jika di film anime, terdapat laser warna merah.
"UNTUK APA KAU MEMBELI BARANG-BARANG TAK BERGUNA SEPERTI INI? DAN APA PULA INI ISINYA? ASTAGA BUNDA, INI YANG KAU BILANG ANAKMU?"
Sungguh, mendengar dari sini aku terkaget-kaget apalagi Sunny dan Langit yang jelas-jelas berada di sana. Sunny tengah menangis sesegukan, aku tak tahu penyebab dia menangis kenapa. Yang jelas situasi itu awkward sekali.
"LANGIT JAWAB!"
Aku kesal setengah mati, di situasi seperti ini aku malah kebelet pipis. Iya, sepertinya kantung kemih milikku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Terpaksa aku melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini.
Lebih sial lagi, aku jatuh. Tersandung celana training yang tengah kupakai, suaranya berdebum nyaring. Aku merutuki diriku sendiri.
"Langit bisa kamu jelaskan? Mengapa ada orang lain di rumah kita?"
Itu suara Ayah Kak Langit.
"Itu temen Sunny, Om."
Aku perlahan berdiri, dibantu oleh Ibunda Kak Langit.
"Kalau begitu, bawa dia ke ruang tamu."
Ketiga orang itu— Kak Langit, Bunda-nya, Ayah-nya — pergi ke ruang tamu menyisakan Sunny denganku.
"Lu mau ke mana?" tanya Sunny, suara cewek di depanku ini masih serak. Kentara benar habis menangis.
"Gue kebelet pipis, mau ke kamar mandi."
"Gue tunggu, bentar lagi pasti lu ikutan diinterogasi sama Om Drey." Sunny menatap atap kamar, menerawang. Aku diam, tidak berkomentar apa pun.
Aku bergegas menuntaskan hasrat ingin pipis, tiga menit kemudian aku kembali berhadapan dengan Sunny. Sunny langsung menarikku, seakan-akan aku tersangka di sini.
"Kamu siapa?" tanya wanita paruh baya, tanpa basa-basi.
"Saya Bintang, Tante. Adik kelas Kak Langit." Aku menatap Tante Anna, sedikit takut.
"Kamu kenal Langit berapa lama?" tanyanya lagi.
"Baru saja, Tan."
Wanita itu hanya tersenyum, tak melanjutkan pertanyaan lagi.
"Bintang?"
"Iya, Om?"
"Kamu salah satu pacar Langit?" tanya Om Drey, menatapku tajam.
Pertanyaan yang salah, mana mungkin aku pacaran dengan Kak Langit.
"Bukan!"
Itu bukan suaraku, tapi suara pria di samping Sunny.
"Langit? Kapan Bunda mengajari kamu menyakiti gadis, Nak?"
Aku menoleh ke arah Kak Langit yang tengah menunduk.
"Apa kasih sayang kami kurang, Nak? Seratus pacar? Oh Tuhan ... apa kau bercita-cita menjadi playboy, Nak? Sungguh, Langit! Demi Allah, Bunda kecewa sama kamu!"
Kalian mau nebak? Iya benar kok, Tante Anna — Bundanya Kak Langit — lagi nangis, terisak-isak. Seperti yang Tante bilang, dia kecewa banget. Aku saja masih bingung, seratus pacar? Serius, ini bocah kenapa playboynya melebihi kodrat sih. Aku sibuk mengumpati Kak Langit dalam hati, bersyukur aku sama sekali tak menaruh rasa kepadanya. Hih, amit-amit deh punya pacar player.
"Ayah nggak ada pilihan, kamu begitu mengecewakan kami Langit. Apa salah kami?"
"Salah kalian?"
Aku mendongak, itu suara Kak Langit.
"Aku stres Bun, Yah. Kalian selalu maksa aku belajar, belajar dan belajar. Kalian sibuk bekerja, nggak ada waktu sama sekali buat aku? Iya aku tahu, kalian kadang mengajakku berlibur ke sana atau ke sini, tapi sejatinya kalian ngurung aku di rumah! Kalian ngizinin Sunny doang yang nemanin aku di sini! Memangnya aku cewek? Aku burung merpati?"
Aku menatap Kak Langit, menganga. Tak menyangka cowok itu akan mengungkapkan semuanya.
"Kalian kira aku bebas di sini? Aku capek Bun, Yah. Aku capek, ke sana ke sini diikuti sama bodyguard. Diawasi seakan-akan aku akan kabur saja, mau sekolah di umum kalian lama banget nurutinnya. Kuliah aja kalian yang nentuin! Jika kalian mau tahu, itu syarat aku masuk geng! Itu syarat aku agar punya temen cowok!" lanjutnya lagi.
"Sekarang kalian mau sita ponsel aku, 'kan? Nggak apa, sita aja! Sekalian aku nggak punya teman! Biar jadi cewek!" serunya lebih keras.
"CUKUP!" teriakku lantang.
Keberanian yang patut diacungi jempol, aku menampar Kak Langit. Bukan, bukan orang tuanya yang menampar. Tapi aku yang bukan siapa-siapa, aku muak mendengarkan segala keluh kesahnya yang sama sekali tak masuk di akal.
"Tadi lu bilang apa, Kak? Syarat jadi teman? Emang lu mau temenan sama siapa?" tanyaku heran.
"Kalau lu mau tahu, Kak. Teman itu nggak mandang apa pun, mereka membantu tanpa syarat apa pun. Ikhlas, bersedia ada di mana pun lu berada. Itu arti teman sebenarnya."
Setelah melontarkan kata-kata itu, aku pergi ke kamar. Setibanya di sana, aku merutuki kebodohanku yang berkata seperti itu tanpa pikir panjang. Aku lupa sedang berada di mana. Ah, sial kau Bintang!
.
.
.
..
Happy Reading
Mila-Chan🥰