Bintang

40 11 16
                                    

    Masalah, seperti menghitung buih di lautan.

-Bintang

      Namanya Bintang, kelas sepuluh. Umur lima belas tahun. Rambutnya panjang, dia suka sekali memasak, baca buku, ice cream, dan coklat. Dia tinggal bersama Mama dan saudaranya Putri. Namanya Bintang, andai cinta dan hidupnya seindah namanya. Andai semuanya semudah memasak air, andai semuanya tidak pernah terjadi. Andai Bintang tidak terlahirkan. Apa semua masih tetap sama?

    "Bintang! Ngapain masih diam di situ kayak orang bego?" bentak Putri.

     Bintang tersentak, lamunannya buyar begitu saja. Mata hitamnya menatap mata Putri dengan sorot takut. Putri menatap Bintang dengan sorot tajam, sangat menyiratkan kebencian.

    "Apa lu liat-liat pake mata lagi!"

     'Memangnya kalo lihat pake apa?' tanya Bintang di dalam hatinya.

     "Ma, Bintang nggak kerja, daritadi dia cuma duduk doang. Kata Bintang, Mama yang harus kerja, kan Mama udah dewasa, masa nggak kuat!" fitnah Putri.

    Bintang menggelengkan kepalanya, berharap Mamanya percaya.

    "Nggak Bintang nggak bilang gitu, kapan Bintang bilang gitu? Putri bohong!" seru Bintang takut. Semakin takut melihat tatapan Mamanya yang melayang ke arah Bintang.

    "Ya ampun, Ma. Tuh kan! Bintang nuduh, Putri!" Putri memutar bola matanya. Mencoba meyakinkan Sang Mama.

    "Bagus, duduk aja ya kerjaan kamu! Apa tadi? Kamu kira saya kerja buat kamu? Heh, emang dasar ya. Anak nggak tahu diri, udah numpang. Bikin malu lagi, kurang apa saya sama kamu? Lupa kalo punya tugas? Kenapa nilai kamu tinggi-tinggi? Kamu nyontek?" tanya wanita paruh baya itu, tangannya melayangkan pukulan dan cubitan bertubi-tubi. Bintang berteriak kesakitan, kata ampun terus dirintihnya. Berharap wanita itu puas, dan segera melepaskannya.

    "Makanya jangan nyontek!"

    "Bintang nggak nyontek, Ma!" ucap Bintang lirih.

    "Masih berani jawab!"

     Lagi, pecutan dari ikat pinggang itu terus dipukulkan ke arah Bintang, air mata Bintang  begitu deras. Bintang telah letih menangis, hanya teriakan ampun. Mengangkasa di ruangan itu. 'Tuhan, kapan semua ini akan berakhir? Bintang nggak kuat.' seru batin Bintang. Bibirnya dia gigit, untuk meredam jeritannya.

    "Kenapa nangis sih! Lemah banget Bintang, kalo kamu tetep nangis. Mama tambah mukulin kamu!"

    Bintang menutup mulutnya, semenit kemudian Mamanya pergi. Dengan satu perintah, agar Bintang segera menyelesaikan pekerjaan rumah. Harus selesai hingga Mamanya kembali nanti. Kaki Bintang memar, wastafel berada di atas. Bertumpu dengan kayu di dekatnya, Bintang berdiri. Lalu mencuci piring, mengerjakan apa yang Mamanya suruh. Dia takut, Mamanya mengamuk lagi.

    "Hahahah, emang enak! Makanya jangan nyontek!" ejek Putri.

    "Bintang nggak nyontek!" lirihnya pelan.

    "Halah boong mulu lu," timpal Putri lagi.

    Bintang memilih diam, tak meladeni celotehan Putri lagi. Setelah semua pekerjaan itu selesai, Bintang berlari. Ke arah gedung, dekat alun-alun. Gedung itu cukup tinggi, rooftopnya luas. Lalu berteriak sekencang-kencangnya. Setelah cukup lama dia menangis, mendadak kepalanya pening. Suasana itu, kembali lagi. Suara-suara itu, yang memaksanya untuk ikut. Bintang menggeleng kuat-kuat, berusaha mengusir suara-suara itu dari pikirannya. Tetapi dia tidak bisa, Bintang terjebak di dalam.

SiriusWhere stories live. Discover now