Harusnya kau tak pernah hadir, dalam hidupku apalagi hatiku.
-Langit
Lomba bahasa berakhir sekitar dua puluh lima menit yang lalu, gue mainin kaki di kursi taman. Soal-soalnya gampang, menurut gue sih. Gue sama Bintang kerja sama banget waktu ngerjain semua soal itu, jadi jauh lebih gampang. Sedikit demi sedikit gue udah mulai lupain masalah semalem, sampai di suatu waktu, tepat di depan gue berdiri marah seorang gadis berambut ikal dengan wajah yang sangat manis.
"Kak Rizal? Jadi, Kakak batalin janji aku? Karena ikut lomba ini? Ponsel Kakak mati, tangan Kakak mendadak hilang? Sampai nggak bisa balas pesan aku?"
Serentetan pertanyaan yang bikin gue pusing seketika, gimana nggak pusing. Ini serius baru satu cewek? Nanti gimana, ya? Kalau semuanya tahu.
"Kak? Jawab aku! Cewek di samping Kakak siapa? Jadi, yang Kakak maksud ini? Janji Kakak mana?"
Gue masih stay mainin kaki, goyangin ke depan sama ke belakang mirip sama orang nggak ada kerjaan. Nggak tahu dari kapan Sunny udah ada di samping gue, nyenggol-nyenggol gue berkali-kali. Gue nyaris jatuh, untung saja gue cowok. Tadi Bintang izin ke toilet, nggak balik-balik. Gue harap tu cewek nggak nyasar ke mana-mana.
"Kakak tega! Harusnya Kakak bilang! Kalo Kakak emang niat nyakitin aku, nggak usah sok baik di depan tapi di belakang. Harusnya Kakak nggak usah sok peduli sama aku, jelasin, Kak!"
Hampir aja, Sheila di depan gue masih ngomel-ngomel. Gue tahu gue salah, lagian gue bingung mau jujur gimana. Setahu gue ini memang salah gue, tapi 'kan gue dipaksa. Apa gue nggak dikasi toleransi? Karena takut kena gampar gue milih diam aja, walau risih soalnya si Sunny nyenggol lengan gue pake tenaga kuda.
Plak
Gue terkejut, sumpah nggak bohong! Tamparan Bintang semalam menyadarkan gue tentang arti teman sebenarnya, lalu? Tamparan Sheila, ngajakan gue arti apa? Gue pengin nanya, tapi takut digampar lagi. Akhirnya gue kembali diam, dia pantes marah sama gue.
"Kamu mendadak bisu, Kak? Kenapa kamu diam aja? Apa benar? Dia pacar kamu?" Sheila natap mata gue, gue bales natap dia. Sorot kecewa tercetak jelas di matanya.
"Awww." Sunny tiba-tiba mengaduh kesakitan.
Sheila jambak rambut panjang Sunny, gue noleh cepat. Gila, ini cewek cepet banget pindahnya! Bukannya tadi masih asyik tatap-tatapan sama gue? Kok malah udah nangkring di rambut Sunny, sih?
"Lu siapa cewek ganjen! Lu rebut cowok gue! Dasar ganjen, lu nggak pernah sekolah? Oh jangan-jangan lu suka bolos, kurang ajar banget jadi cewek!" Sheila terus berkomentar sambil mengencangkan jambakannya di rambut Sunny.
Gue berpikir cepat, tapi sepertinya kelamaan menurut versi kalian. Lihat aja, ini Bintang mendadak ada di depan gue, pake acara dorong Sheila. Mata Bintang udah mau copot aja, dia melotot tersirat kata nantangin.
"Lu siapa? Ngapain ganggu temen gue?" tanya Bintang tajam.
"Gue pacar Kak Rizal!" Sheila menatap Bintang tajam.
"Rizal? Itu siapa?" tanya Bintang kelewat kalem.
Gue masih mode diam, Sunny sibuk mengurusi rambut kusutnya. Sementara Bintang menatap gue seakan nanya 'gue ketinggalan apa, Kak?'
"Cowok di samping elu kan, Kak Rizal," sahut Sheila jengkel.
"Maksud lu Kak Langit?" tanya Bintang, lagi.
"Kak Langit?" Sheila memasang wajah bingung.
"Cowok di samping gue." Bintang bersedekap.
Puncaknya gue udah mulai muak, pengen pulang.
"Lu mau apa, Dik?" tanya gue, males basa-basi apalagi ngejelasin hal yang sebenarnya memang salah gue.
Sheila natap gue lama, sepertinya cewek di depan gue ini kaget — selama dia pacaran sama gue, gue nggak pernah pake bahasa elu-gue sama dia.
"Putus, 'kan? Yaudah kita putus," ucap gue final.
"Oh satu lagi, lu nanya ini cewek gue apa bukan, 'kan? Yang lu jambak barusan sahabat kecil gue, Sunny. Yang dorong elu barusan itu Bintang Adik kelas gue, kelar 'kan? Gue mau pulang, assalamu'alaikum."
Gue gandeng tangan Bintang sama Sunny ke mobil, ngabaikan Sheila yang masih belum bisa nerima kenyataan. Sama sekali gue nggak noleh ke belakang, udah cukup muak gue ngelihat drama jambak-jambakan rambut via live barusan.
"Gila, itu cewek lu nemu di mana sih, Lang? Tenaganya kuat banget astaga, gue pengin jambak juga, sih. Lebih pengin lagi, nendang dia ampe ke Antartika." Sunny mengelus-elus kepalanya, gerakan tangan Sunny sama berirama dengan mulut yang tak berhenti mengomeli Sheila.
"Itu pacar Kakak?"
"Yaiya, Tang. Gue yakin itu cewek salah satu dari yang seratus orang," celetuk Sunny, kepalanya mengangguk-angguk yakin.
Bintang mengerutkan dahi, mungkin dia nggak bakalan nyangka jika salah satu cewek gue beringas kayak Sheila. Atau mungkin dia berpikir untuk berdiri minimal tiga meter dari tubuh gue. Ah, kalian nggak akan tahu tanpa bertanya sendiri sama Bintang, 'kan?
"Lu sariawan, Lang?"
Gue males banget jawab pertanyaan Sunny, pikiran gue bercabang, asli! Yang ada di pikiran gue, tentang kejadian barusan. Itu bahaya banget buat Sunny apalagi Bintang, baru satu cewek gue yang bar-bar nggak tahu tempat, marah-marah nggak jelas. Gimana dengan sisanya? Apakah akan sulit untuk menghapus sisa-sisa jejak mereka?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Happy Reading
Mila-chan😈