Harapan

9 5 3
                                    

Bagaimana caraku melupakanmu, jika di setiap sudut pikiranku tercetak namamu. Haruskah aku melupakan pikiranku juga?

-Bintang

"Tang, emang nggak ada satu pun keluarga lu yang bakal nyari, ya?" tanya Reyna pelan. Dia takut mengganggu ketenangan di area perpustakaan.

"Btw, Rey. Ngapain bisik-bisik gitu, sih? Kita 'kan cuma berdua di sini," celetuk Bintang, dahinya berkerut bingung.

"Hihi, iya ding. Gue kebiasaan berangkat siang, sih. Jadi ya gini," ucap Reyna nyengir, memamerkan gigi putihnya yang rata.

"Kayaknya gue bakal nyari kerja, Rey."

Bintang menghembuskan napas lelah, matanya menerawang ke atap perpustakaan. Semalam, Bintang menginap di rumah Reyna. Untuk seterusnya tak mungkin dia terus menerus berada di sana, dia harus belajar mandiri. 'Berpisah dengan Mama mungkin kunci utama' pikir Bintang dalam hati.

"Kerja? Kita masih kelas sepuluh, Tang!" seru Reyna, matanya mengerjab tak percaya.

"Emang lu ada ide lain?"

Reyna mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, berusaha mencari cara termudah yang tak akan mengganggu sekolah Bintang.

"Ah, kan lu ikutan lomba sastra, Tang!" seru Reyna semangat.

"Lomba? Sastra?"

Reyna menepuk dahinya pelan, lalu tersenyum penuh arti.

"Iya yang kata Bu Veronica kemarin itu, Tang. Masa lu lupa?"

"Yang? Collab sama murid pindahan itu?"

"Nah iya sama cowok ngeselin itu," tambah Reyna.

"Emang kenapa?"

"Haduhhhh sejak kapan lu loading kek gini, sih? Hadiahnya itu lumayan karena tingkat internasional, bisa beli rumah malahan," jelas Reyna panjang lebar.

"Kan mesti dibagi dua sama Kak Langit."

"Iya, gue tahu, Tang. Tapi, dibagi dua aja 'kan bisa dipake buat lu ngontrak plus buka usaha."

"Iya juga ya, Rey. Wah, makasih udah ngingetin gue. Gue bakal berusaha keras, biar dapet juara satu," tutur Bintang, mengepalkan tangannya kuat.

"Gue always dukung elu, Tang."

Reyna menatap wajah berseri-seri Bintang, dalam hati dia berkata, "Tang, jangan pernah sedih lagi. Gue yakin lu bisa, lu pasti kuat, jangan patah semangat. Gue yang akan jadi pelindung elu, gue nggak bakal ninggalin elu."

"Tang, ayo ke kantin," ajak Reyna kemudian.

"Bentar lagi bel masuk, lho," tukas Bintang mengingatkan.

"Ahh, gue laper, Tang. Ayolah, bentar doang kok."

Reyna menarik tangan Bintang, seraya mengerjapkan matanya. Memohon agar Bintang ikut serta ke kantin, sebenarnya dia tak terlalu lapar. Alasan Reyna mengajak Bintang, karena Reyna tahu. Bintang lapar, tadi pagi mereka terlalu buru-buru ke sekolah. Lupa untuk sarapan pagi.

"Eh ada anak pungut rupanya," sinis gadis berambut sebahu, menghadang jalan mulus Bintang dan Reyna.

"Tang, kayak ada yang ngomong. Tapi nggak ada orang, yuk gue merinding."

Reyna berkata, matanya asyik menelisik atap seakan-akan memang ada hantu. Sementara tangannya berkali-kali mengguncang lengan Bintang, mendramatisir suasana.

"Rey, udah," peringat Bintang, menggoyangkan lengan Reyna sekali.

"Ih iya, udahan aja. Ayo pergi yuk."

Reyna menarik tangan Bintang tanpa aba-aba apa pun, mengabaikan Putri dan sindirannya.

"Rey, nggak baik lho kayak gitu," ucap Bintang pelan.

"Nggak apa lah, Tang. Sekali-kali dia itu perlu dikasi kaca, biar nggak ngerasa cantik mulu," ucap Reyna geram.

Bintang tersenyum samar, dia tahu yang apa yang selama ini dirasakan oleh Reyna, sahabatnya. Dalam hati Bintang bersyukur, memiliki sahabat setulus Reyna.

"Udah ah, Tang. Males gue ngomongin si Putri mulu, yang ada pahala dia nambah terus. Sementara gue sama elu, berkurang. Hhhhhhh menyebalkan!"

Bintang mencubit hidung Reyna gemas, ada ada saja temannya yang ini.

"Ini, Neng. Pesanannya, dijamin mantap!" seru Mang Joni, tukang bakso di kantin SMA mereka.

"Wah, makasih banyak, Bang. Semoga dagangannya laris manis," ujar Reyna sembari mengacungkan jempol. Mang Joni membalas dengan acungan jempol pula.

Bintang dan Reyna, asyik mengobrol sambil menuntaskan ritual mengunyah pentol di mangkuknya.

"Ck, Kakel gaje udah dateng, ngapain sih pake acara masuk kantin! Kan bentar lagi mau bel, kuker banget," dengkus Reyna kesal.

"Apa sih, Rey?" Bintang mengerutkan kening bingung.

"Itu tuh, geng Kevin. Alah sok-sokan banget jadi cowok, kek ganteng aja tau ga sih!" lanjut Reyna, mendumeli Kevin dan teman-temannya. Tangannya menunjuk ke arah tersangka.

Bintang tertawa kecil, melihat kelakuan Reyna.

"Ngomong-ngomong, kita sama mereka itu sama lho, Rey," tutur Bintang, mengaduk es teh manis miliknya.

"Samwa?" Reyna bertanya, mulutnya penuh dengan pentol.

"Telen dulu kali!"

"Ah, sama apanya? Jelas-jelas beda, dari gender aja udah beda lho, Tang!" seru Reyna kemudian, pentol tadi telah bersemayam di dalam lambungnya.

"Gue nggak ngomongin gender kok, Rey. Gue ngomongin situasi dan kondisi yang sekarang, lu tadi bilang kan? Kalo Kak Kevin dan teman-temannya itu ke sini, sedangkan kita ada di sini."

"Eh gimana sih, Tang? Gue nggak paham sumpah!" seru Reyna, tangannya membentuk lambang peace.

"Itu, lu bilang mereka kuker, terus kita apa? Sama-sama kuker, Rey," celetuk Bintang santai.

"Ih, nggak usah diingetin juga kali!" seru Reyna kesal.

"Hahahhaha iya ... Reyna cantik, bentar lagi bel. Ayo buruan makannya!"

Reyna mengangguk mengiyakan, Bintang meraih ponselnya. Sedari tadi, pikirannya gelisah memikirkan Awan, mantan pacarnya. Nama itu seakan-akan tercetak jelas, enggan berpindah apalagi tergantikan. Tanpa sadar, air matanya menetes. Buru-buru Bintang menghapusnya, dia tak ingin Reyna kembali cemas. Semoga dia tak salah, menaruh harapan pada lomba bahasa itu.

.
.
.

.
.
.
.

Happy Reading :v
Gambar di atas itu visual Putri
Mila-chan😝

SiriusWhere stories live. Discover now