Aku Bintang

8 4 0
                                    

Jangan pernah berpikir kamu sempurna!

-Bintang

Kepalaku sakit, mata berkunang-kunang, setelah cahaya sempurna memasuki indra penglihatan. Aku menatap sekeliling, seksama. Aku menyaksikan dua orang berdebat, entah mereka merebutkan apa sepertinya aku akan tahu jika telah bertanya.

Brukk

Ah, aku membuat kegaduhan dengan menjatuhkan benda milik mereka. Eh, tunggu bukankah itu Kak Langit?

"Erghhh ...."

Sontak, dua orang itu menoleh ke asal muasal suara. Memperhatikanku yang berusaha mengumpulkan kesadaran. Ah, sepertinya mereka tak peduli jika aku menjatuhkan lebih banyak barang lagi, tapi tak akan aku lakukan.

"Hah? Kak Langit?" ucapku terkejut.

Bukan, lebih terkejut lagi jika yang menyelamatkanku adalah Uchiha Madara. Oke, lupakan aku memang terlalu sering berkhayal.

Mataku beralih ke arah cewek di samping Kak Langit lalu berkata, "Pacar Kak Langit?"

Si cewek berambut panjang menggeleng pelan, Kak Langit menatapku intens. Sepertinya cowok berambut coklat itu berusaha mencari topik yang pas, hingga sederet kalimat terjun bebas dari bibirnya.

"Lu? Kenapa? Abis main polisi-polisian?" tanyanya bingung, dihadiahi jitakan kepala oleh cewek berambut coklat tadi.

Aku menatap manusia berbeda gender bergantian, bibirku bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu.

"Ta ... tadii itu ..."

Suaraku seperti berasal dari gua terjauh, aku saja sangsi mendengarnya.

"Tadi?"

Kak Langit mengulang apa yang tadi keluar dari rongga tenggorokanku, kali ini dia menyuarakan lebih jelas.

"Eum, sepertinya kita harus mengantarnya pulang, Lang," usul cewek cantik berambut coklat panjang.

"Nggak seru, gue kan pengen tahu dia kenapa, Ny!" seru Kak Langit menolak.

"Tapi udah sore, men. Lu nggak mau kan? Dituduh penculikan anak!" sahut cewek yang sama.

"Berisik!"

Cukup lama mereka berdebat, aku masih berusaha keluar dari rasa sakit berkunang-kunang ini. Astaga lama sekali, kepalaku ingin meledak rasanya.

Mobil Kak Langit berjalan, aku sudah tak peduli mereka akan membawaku ke mana. Yang jelas mereka tidak akan berbuat jahat, kan? Begitu pikirku.

Cewek tadi menyerahkan sebotol air mineral, susah payah aku meraihnya. Penutup botol air telah lepas, diam-diam aku bersyukur.

"Ngomong-ngomong, nama lu siapa?" tanya cewek tadi.

"Bintang," jawabku pelan.

"Kenalin, gue Sunny!" serunya riang.

Aku mengangguk sekenanya.

"Ny, orang sakit itu nggak bisa ngomonglah! Bego lu dikurangin sesendok bisa nggak, sih?"

Suara itu berasal dari cowok yang sibuk menyetir mobil, cewek bernama Sunny mendengkus kesal. Setelah perkenalan tadi, tak ada percakapan lagi. Semuanya sibuk dengan dunia masing-masing, aku dan rasa pusing, Sunny sibuk bernyanyi, dan Kak Langit menyetir mobil.

Mobil melaju terlampau santai, sesekali Kak Langit menanyakan arah rumahku. Aku menyebutkan sederet alamat rumah Reyna, Kak Langit mengangguk paham.

Gerbang putih mulai terlihat, itu adalah pagar rumah Reyna. Aku dipapah Sunny masuk ke dalam, pagarnya terkunci, satpam pun tak ada.

"Ergh? Lu yakin ini rumah lu?" tanya Sunny ragu.

"Ini rumah Reyna, temen gue," jawabku.

"Kenapa kita nggak ke rumah lu aja?"

Sunny menaikkan sebelah alisnya, menatapku curiga.

"Ada masalah yang nggak bisa gue jelasin."

Entahlah, aku pun bingung kenapa suaraku begitu dingin. Sunny berdehem canggung, aku meraih ponsel berusaha menghubungi Reyna. Sebuah pesan chat masuk beberapa jam yang lalu, iya itu dari Reyna. Dia berpesan bahwa dia tak akan pulang, Neneknya tengah sakit di Bandung.

Tanpa sengaja aku menghembuskan napas begitu berat, Sunny menatapku. Aku masih bingung kenapa cewek itu tidak pergi-pergi juga, bukankah urusan kita telah selesai?

"Gimana?"

"Kalo lu mau pulang dulu, gih sana."

Ah, aku merutuki mood yang suka berganti tiba-tiba, sepertinya aku telah membuat Sunny kesal. Tanpa sadar, aku berintonasi mengusirnya.

"WOY, LAMA AMAT ASTAGA!" teriak Kak Langit.

Cowok itu berlari mendekati kami, aku masih diam, memikirkan di mana aku tinggal. Sunny juga diam, sepertinya dia enggan berbicara denganku lagi. Aku menghembuskan napas dalam-dalam, aku harus meminta maaf kepadanya.

"Kenapa itu muka ditekuk gitu?" tanya Kak Langit, aku tahu pertanyaan itu dilayangkan kepada Sunny.

"Kepo aja lu, tomat!"

"Dih, karpet usang sensian!"

Selagi mereka bermain ejek-ejekkan, aku berpura-pura memainkan ponsel, mencoba menghubungi siapa saja. Menyibukkan diri, menulikan telinga.

"Jadi, sampe kapan kita berdiri kek orang gila di sini?"

Kak Langit mengusap dahi berkeringat, mata tajam Kak Langit menatapku intens.

"Makasih, untuk bantuannya kalian boleh pulang jika berkenan," kataku, lagi.

"Lu? Nggak lagi bingung, kan?"

Kak Langit mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku asyik menebak, cowok ini mencari kebohongan di diriku.

Jujur saja, aku bingung hendak ke mana, aku malas pulang ke rumah.

"Lagi kabur, ya?"

"Please, Lang. Harus ya? Elu nebak-nebak kek dukun?" tanya Sunny.

Aku tahu dia tengah menyindir perkataanku beberapa menit yang lalu.

"Ah yaudah, ayo pulang!" seru Kak Langit menarik tanganku dan tangan Sunny ke arah mobil.

Entah mengapa, aku tak menolak ajakan itu. Kami berada di dalam mobil, siap pulang ke rumah Kak Langit.

Lima belas menit perjalanan, mobil Kak Langit sampai di pelataran mewah. Ucapan Kak Ivan tadi siang benar adanya, Kak Langit terlalu kaya untuk sebutan orang kaya.

Kak Langit masuk begitu saja, menyisakan aku dan Sunny di teras depan. Beberapa orang bertanya kebutuhan Sunny di sini, dijawab dengan kata 'tidak dulu'.

Di sinilah kami berdua, di taman rumah Kak Langit, sepertinya aku akan diinterogasi oleh cewek cantik berambut coklat ini.

"Ehm, untuk yang tadi, gu-"

"Nggak usah dipikirin, maaf gue terlalu kepo. Entah kenapa gue nganggep elu bukan sebagai orang yang pertama kenal, kita kek pernah ketemu. Ah lupakan, jadi? Lu mau cerita lu kenapa?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Happy Reading^^
Mila-chan👉🏻👈🏻

SiriusWhere stories live. Discover now