15 - Insiden

30 8 0
                                    

"Tak kupedulikan luka dan impian, sebab menemukan-Mu adalah tujuan." ~Ashima.

****

Insiden itu menjadi pelajaran bagi sosok Rey, yang biasanya mendapat notifikasi dari Zahfira. Sosok yang sangat ia nanti-nantikan pernyataan cintanya. Kini notifikasi itu belum muncul jua, ia hanya bisa termenung, menyesali perbuatan yang ia lakukan.

Luka lebam yang berada dibagian pipi, merah agak bengkak. Juga diarea dada membuat dirinya agak sesak bernafas. Lelaki itu memandangi sebuah foto yang ada dilayar Hp-nya. Sesekali memejamkan mata, tak sadar pipinya sudah bergelimangan air mata.

Yang ia ingat adalah ketika Zahfira berteriak histeris pada perkelahian kemarin. Membuat Rey dan juga Hamzah berhenti. Tapi lelaki dingin itu masih menaruh dendam yang amat sangat kepada Hamzah. Rey dengan muka masam beralih mengambil tasnya yang berada diruko, lalu pergi tak meninggalkan pesan.

***

Hamzah menarik nafas panjang, meminta maaf pada Zahfira atas perilakunya yang tak senonoh. Ia sangat marah apabila ada seorang lelaki yang membentak wanita, sungguh lelaki culun dan tak punya perasaan. Ia menjelaskannya pada Zahfira, wanita itu pun percaya apa yang dikatakannya. Zahfira hanya memberi nasihat bahwa jika terjadi lagi, jangan meluapkan emosi terlebih dahulu.

Panjang lebar Zahfira menjelaskan kepada Hamzah tentang perangai Rey, juga tentang hubungannya itu. Semua itu adalah proses agar Rey dapat berubah, tapi hati perempuan itu kini tersakiti. Ia menjelaskan pada Hamzah sambil berlinangan air mata.

"Kalau begitu, saya izin pamit duluan ya Mbak. Semoga Mbak Zahfira bisa tenang, atau ... mau saya antar kerumah Mbak?" Ucap Hamzah yang sedang berdiri memegang tas lusuhnya.

Zahfira mengusap air mata dengan tangannya, dan tersenyum tegar kepada Hamzah.

"Iya Mas, maaf saya bisa pulang sendiri." Balas Zahfira yang masih mengusap-ngusap air matanya tak kunjung berhenti.

Hamzah menghela nafas, berniat untuk mengantar Zahfira. Wanita kalau sedang bersedih biasanya menolak, akan tetapi perasaan dihati itu sangat menginginkannya. Ia mencoba mempersilahkan Zahfira berjalan duluan, selagi itu Hamzah mengikutinya dibelakang. Perilaku Hamzah itu diperhatikan oleh Zahfira, yang membuatnya berdecak kagum. Sungguh mulia hatinya, dari sosok Hamzah. Perlahan ia menaruh namanya dihati.

Sampailah Hamzah dan Zahfira dihalte bus, pada jam 17.00 - 18.00 itu adalah bus terakhir. Menunggu agak lama, sedangkan disamping Hamzah masih ada Zahfira yang masih menangis haru. Sungguh hati wanita itu sangat sensitif, Hamzah berniat untuk mendekap bahunya dengan tangan. Akan tetapi ia terus berpikir berulang kali, bahwa Zahfira bukan mahrom untuknya.

Ia menaiki Damri jurusan Jatinangor, tatapan Zahfira kepada Hamzah belum terputus, sembari menutup hidung dan mulutnya menggunakan kerudung panjangnya. Momen yang spesial bagi Zahfira.

Tak lama keduanya saling menatap hangat, Hamzah tersenyum menghibur wanita yang sedang terluka itu. Bayang-bayang senja menyoroti dari setiap jendela bus. Menambah kenyamanan pada setiap hati yang gundah-gulana.

***

Rumah Zahfira begitu besar, dan Hamzah pun seakan tak percaya. Ia masih menemani Zahfira hingga masuk kedalam pekarangan yang Dihiasi bunga-bunga itu.

"Mas Hamzah mau mampir dulu?" Tanya Zahfira dengan nada sendu.

"Maasya Allah, bagaimana kalau saya langsung pulang saja Mbak. Takut merepotkan, silahkan Mbak Zahfira istirahat. Dan juga saya minta maaf ya Mbak, untuk kekacauan hari ini." Balas Hamzah memelas, sembari menundukkan pandangannya.

"Boleh Mas, makasih banget ya. Sudah nganter Zahfira sampai rumah, Mas Hamzah hati-hati pulangnya. Ini saya ada sedikit untuk Mas Hamzah." Sambil merogoh tasnya, Zahfira mengeluarkan 1-lembar uang 100.000-ribu. Dan memberikannya pada Hamzah.

"Wah Mbak, ndak usah. Saya masih ada kok, mending disimpan saja Mbak. Ongkos buat kuliah besok." Balas Hamzah gugup.

"Hmm... Zahfira tinggal minta ke bapak Mas. Ini terima saja, ucapan terima kasih saya karena sudah mengantar sampai rumah." ia mengelak, menyodorkan kembali imbalannya itu.

Hamzah pun tak bisa menolak, ia tak bermaksud untuk berlama-lama dengan Zahfira yang sedang sedih itu. Ia lalu menerimanya, dan pamit dengan rasa gugup yang menggerogoti hatinya.

Halte bus itu kosong, dan memang tadi adalah bus terakhir menuju daerah itu. Hamzah mencari angkot menuju pasar gede bage.

Hiruk pikuk dalam angkot membuat Hamzah teringat dengan masa kecilnya dulu, sosok anak kecil yang berada dalam pelukan ibunya. Hangat dan nyaman. Sama persis seperti nenek yang melakukan itu padanya. Perlahan ia memejamkan mata, berusaha menikmati momen ini lebih panjang lagi, menjadi dewasa itu sulit, maka dari itu ia menghargai setiap hal kecil yang datang dalam kehidupannya.

Bersambung...

_______________________________

Alhamdulillah selesai nih Chapter 15 nya. Gak nyambung yaa? Atau bosan dengan ceritanya? Bantu support Yuk. Jangan lupa komen aja kalau ada salah atau saran yang membuat saya termotivasi lagi and terinspirasi.

Jangan lupa VOTE ya sahabat...
Happy Reading yaah. 😊😊💕

Baarakallahufiikum.

Lelaki hitam. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang