🍁 VII 🍁

2.5K 175 2
                                    

Seokjin

"A-aku .... Aku ti-tidak apa-apa dibenci. Ta-tapi a-aku tidak ingin jauh dari Jin hyung, Yoongi hyung dan Tae Tae hyung. A-aku tidak mau ...."

Demi Tuhan! Dadaku tiba-tiba terasa sesak saat mendengar Kookie mengucapkan kata-kata itu. Seolah-olah ada ribuan jarum yang menancap di Jantungku secara bersamaan. Sakit dan begitu pedih.

Ku akui, sejak kematian appa, sikapku pada adik bungsuku itu tidak pernah baik. Aku selalu bersikap kasar dan selalu memusuhinya. Aku tidak pernah memikirkan perasaannya saat aku membencinya. Ya aku membencinya. Tiap kali aku melihatnya, aku selalu teringat kejadian nahas yang merenggut nyawa appa dan Ji-hoon samchon. Aku tahu, kecelakaan itu bukanlah kesalahan Kookie. Dia juga merupakan korban pada kecelakaan itu bahkan sampai tidak sadarkan diri selama tiga hari. Meskipun aku menyadari itu, kebencianku pada adik bungsuku tidak bisa kuhapus seperti keinginanku. Selama dua belas tahun aku terus membencinya sementara jauh di dalam hatiku sebenarnya aku sangat menyayanginya.

Selama ini, aku tidak pernah melihatnya menangis. Seperti apapun aku memarahinya, memakinya atau bahkan saat aku memukulinya, Kookie tidak pernah menangis atau mengeluh. Ia selalu menerima perlakuanku tanpa ada niat untuk melawan meskipun ia memiliki kesempatan. Yang dia lakukan hanyalah menerima.

Baru kali ini aku melihatnya menangis seperti itu. Bahkan saat eomma meninggal, ia tidak meneteskan air mata sedikitpun. Tidak ada air mata yang jatuh dari mata adik bungsuku saat eomma pergi menghadap Tuhan. Tapi tunggu dulu. Apa benar saat itu Kookie tidak bersedih? Dia sangat dekat dengan eomma bahkan saat eomma dirawat di rumah sakit. Mungkinkah sebenarnya Kookie selalu menahan diri di hadapan kami semua sehingga untuk menangis saja ia tidak bisa? Apa karena kami selalu membencinya makanya dia jadi seperti itu? Ya Tuhan ... betapa kejamnya kami selama ini. Betapa selama ini adik bungsuku itu sangat kesepian. Kookie bahkan lebih memilih untuk dibenci dari pada harus meninggalkan aku, Yoongi atau pun Tae.

"Hyung .... " sebuah panggilan menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan menatap si pemilik suara. Adikku yang pendiam itu kini tengah menatapku dengan air mata mengalir di pipinya.

"Apakah aku sangat jahat? Apakah aku begitu keterlaluan sampai-sampai tidak menyadari penderitaan Kookie?" tanya Yoongi lirih.

"Aku juga, Hyung. Aku selalu bersikap kejam pada Kookie. Aku sering memukulinya meskipun Kookie tidak melakukan kesalahan." ucap Taehyung sambil menangis.

"Yoongi-ya .... Taehyung-ah ...."

"Aku tidak tahu harus bagaimana, Hyung. Ucapan Kookie sangat memukul perasaanku." kata Yoongi sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Bagaimana jika Namjoon Hyung benar-benar akan membawa Kookie pergi? Jujur saja aku tidak mau. Mau bagaimana pun, Kookie adalah adik kita. Kita tidak boleh membiarkannya jauh dari kita." tanya Taehyung.

"Hyung sendiri tidak tahu harus bersikap bagaimana, Yoongi-ya, Taehyung-ah. Kita terlalu lama menutup mata." jawabku.

"Jika aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Kookie, apakah dia mau? Apakah aku masih memiliki kesempatan?" tanya Taehyung.

"Hyung sangat berharap kesempatan itu ada, Taehyung-ah. Jujur saja, Hyung masih belum bisa melupakan kejadian nahas itu. Tiap kali melihat Kookie, Hyung selalu merasa kesal. Tapi kita harus merubah sikap kita padanya. Kita tidak bisa terus memusuhi Kookie yang tidak bersalah. Benar yang dikatakan Namjoon selama ini. Kejadian yang menimpa keluarga kita adalah takdir. Tidak seharusnya kita membenci Kookie dengan alasan itu." ucapku lirih.

"Geundae, Hyung ... ini pasti akan sulit sekali. Aku terlalu lama menanam kebencian untuk Kookie." ucap Yoongi dengan raut wajah sedih. Aku mengerti perasaannya. Aku pun juga merasakannya.

𝐂𝐚𝐧 𝐈 𝐇𝐨𝐩𝐞?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang