🍁 XVIII 🍁

1.3K 109 2
                                    

Namjoon

Aku baru tahu jika ternyata Kookie bersahabat dengan Jackson dan persahabatan itu sudah terjalin sejak Jackson belum pindah ke Jepang. Ku pikir aku adalah sahabat terdekat untuk Jackson, tapi rupanya aku salah. Kookie adalah orang pertama yang ditemui oleh Jackson begitu ia kembali ke Korea, bukan aku.

Kedekatan Jackson dan Kookie sungguh membuatku merasa iri. Aku iri pada Jackson yang bisa membuat Kookie mengungkapkan perasaannya dengan sendirinya. Padahal pada kami yang notabene adalah saudaranya sendiri, Kookie begitu tertutup. Dia tidak pernah mau mengatakan apa yang dia pikirkan meskipun setelah dipaksa.

Saat ini aku dan Kookie sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah. Wajah Kookie begitu pucat dan keringat dingin banyak keluar dari dahinya

"Hyung..." Panggil Kookie lirih. Aku segera menoleh ke arahnya sambil melirik ke arah jalan raya.

"Tolong hentikan mobilnya, Hyung. Aku mau muntah." Ucap adik bungsuku lagi dengan suaranya yang bergetar.

Mendengar ucapannya, aku segera menepikan mobilku. Tepat saat mobilku berhenti, Kookie langsung membuka pintu mobil dan berlari keluar. Aku segera turun dari mobil dan mendekatinya yang sedang muntah. Tak lupa aku mengambil tisu yang ada di mobil dan membawanya di tanganku.

"Jangan ke sini, Hyung! Ini sangat menjijikkan." Seru Kookie mencoba mencegahku untuk mendekatinya. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap mendekatinya dan memijit tengkuknya pelan.

Kookie muntah berulangkali mengeluarkan seluruh isi perutnya. Bisa kulihat lagi-lagi ada darah yang keluar dari mulutnya.

"Jangan lihat, Hyung!" Serunya lagi yang membuatku merasa sesak. Betapa sakit yang adikku rasakan sangatlah berat sampai membuatnya jadi seperti ini.

Melihat adikku seperti itu, jujur saja aku tidak dapat menahan air mataku. Mengapa aku selalu saja melihat Kookie tersiksa tanpa bisa berbuat apa-apa? Mengapa aku begitu tidak berguna sebagai seorang kakak?

"Mianhae, Kookie-ya. Maafkan Hyung karena tidak bisa membantumu mengurangi rasa sakit mu. Hyung sama sekali tidak berguna. Mianhae..." Ucapku sedih sambil membersihkan bibir Kookie menggunakan tisu. Darah yang keluar dari mulutnya lumayan banyak hingga membuat bibirnya menjadi berwarna merah.

Kookie menatapku dengan alis yang nyaris bertaut. Ia menggeleng pelan tanpa melepaskan pandangannya dariku.

"Jangan membuat ekspresi seperti itu, Hyung! Nan gwaenchana. Inilah alasanku tidak ingin mengatakan tentang penyakitku pada Hyung. Hyung akan merasa bersalah karena kondisiku." Pintanya dengan suara serak.

"Sebenarnya kau sakit apa, Kookie? Sejak kapan kau menahannya seperti ini?" Tanyaku sambil menyentuh wajahnya menggunakan kedua tanganku. Tapi Kookie tak menjawab. Ia hanya tersenyum melihatku.

"Aku lelah, Hyung. Aku ingin pulang...." Ucapnya lirih. Aku tahu adik bungsuku ini berusaha mengalihkan perhatianku, tapi aku juga tidak bisa memaksanya. Kondisi Kookie sudah pucat pasi. Kookie bisa pingsan lagi jika aku tidak segera membawanya pulang.

"Baiklah, kita pulang. Kau harus segera beristirahat." Ucapku lalu membantu Kookie kembali ke mobil. Aku merengkuh bahunya menggunakan lengan kananku dan berjalan bersisian sampai mobil. Dalam perjalanan pulang, Kookie ku biarkan tidur.

Saat tiba di mansion, suasana masih terlihat sepi. Tidak terlihat bayangan kedua adikku dan ketiga sepupuku. Sepertinya mereka belum pulang.

"Kookie..." Panggilku lirih untuk membangunkan Kookie yang masih tertidur. Tapi karena tak tega, akhirnya aku memilih mengangkat tubuh Kookie dan membawanya menuju ke kamarnya. Saat itu aku menyadari, betapa adikku ini telah kehilangan berat badannya.

𝐂𝐚𝐧 𝐈 𝐇𝐨𝐩𝐞?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang