🍁 XI 🍁

2K 142 8
                                    

Jungkook mengerjapkan kedua matanya yang masih terasa berat untuk terbuka berulang kali. Ia memandang sekeliling, suasana yang ia lihat begitu dikenalnya. Rupanya ia ada di dalam kamarnya.

"Apa yang terjadi? Seingatku tadi aku sedang berada di rumah sakit bersama Jin hyung." gumam Jungkook lirih sambil mengubah posisinya menjadi duduk. Pemuda bergigi kelinci itu diam. Ingatan saat Seokjin memeluknya melintas dalam ingatannya.

"Yang tadi itu apa? Aku pasti hanya bermimpi. Jin Hyung tidak mungkin memelukku." tanya Jungkook pada dirinya sendiri. Ia bahkan tertawa miring seolah menertawakan dirinya sendiri.

Jungkook memperhatikan jam digital yang menempel di dinding tepat di atas meja belajarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Pemuda itu tersentak.

"Aku harus menyiapkan makan malam... " ucapnya sambil berdiri. Tentu saja hal itu membuat kepalanya menjadi pusing. Seketika ia langsung kembali terduduk di atas tempat tidur.

Saat Jungkook sedang memijit pelipisnya, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Pemuda berusia 20 tahun itu menoleh, menatap sosok yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya dengan terkejut.

"J-Jin Hyung?" desis Jungkook saat melihat sosok kakak sulungnya berdiri di sana.

"Kau sudah bangun?" tanya Seokjin sambil mendekati Jungkook. Kedua tangannya menyentuh wajah sang adik dan merabanya dengan khawatir.

"Mana yang sakit? Hm? Katakan pada Hyung, Kookie!" tanya Seokjin lagi. Tapi Jungkook tak menjawab. Ia hanya menatap wajah Seokjin dengan takjub. Ia tak percaya sulungnya itu sedang menyentuhnya. Ia bahkan mencubit pipinya sendiri untuk meyakinkan matanya. Terasa sakit pada kulitnya.

"Jangan mencubit pipimu! Nanti bisa memar." tegur Seokjin sambil mengusap pipi Jungkook yang tadi dicubit oleh si empunya.

Tangan kanan Jungkook terulur dan meraih ujung kemeja putih yang dipakai oleh Seokjin. Membuat kedua mata laki-laki tampan berbahu lebar itu mengikuti gerakan tangan sang adik.

"I-ini bukan mimpi?" tanya Jungkook sambil mencengkeram erat kemeja Seokjin dengan mata berkaca-kaca.

"I-ini benar-benar J-Jin Hyung? H-hyung sedang menyentuhku?" tanyanya lagi yang membuat Seokjin mengerutkan alisnya sedih. Ia meraih tangan sang adik yang mencengkeram ujung kemejanya dan membawanya agar menyentuh pipinya.

"Ini bukan mimpi, Kookie. Ini Hyung." ucap Seokjin lembut sambil menumpukan tubuhnya pada lututnya, membuat posisi wajahnya lebih rendah dari pandangan Jungkook. Iris coklat sang adik meneteskan air mata perlahan saat tatapan mata keduanya bertemu. Seokjin segera mengusap air mata itu dengan harapan agar segera berhenti.

"Andwae, Kookie-ya! Uljima, eoh?" ucap Seokjin dengan dahi berkerut. Matanya berkaca-kaca melihat air mata yang mengalir di wajah sang adik justru semakin banyak yang keluar.

"Hyung..." panggil Jungkook sambil mengulurkan tangan kirinya dan menyentuh wajah Seokjin. Kini kedua tangannya menyentuh wajah sang kakak.

"Hm?"

"Hyung...." panggil Jungkook lirih. Kini alisnya bertaut. Tangisannya benar-benar pecah. Air mata mengalir deras di pipinya.

"Wae?" tanya Seokjin lembut sambil memegangi kedua tangan sang adik yang menyentuh pipinya. Air matanya akhirnya lolos dari mata kirinya.

"Hyung...."

"Hyung di sini."

"Hyungie...."

Isak tangis Jungkook mulai terdengar kencang. Air mata yang mengalir di kedua pipi pemuda itu tidak mau berhenti. Napas pemuda itu bahkan terlihat sesak karena tangisannya. Membuat hati Seokjin tersayat begitu dalam melihat sang adik yang menangis terisak-isak sambil memegangi wajahnya.

𝐂𝐚𝐧 𝐈 𝐇𝐨𝐩𝐞?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang