🍁 XVI 🍁

1.7K 119 0
                                    

Yoongi

Dadaku sejak tadi bergemuruh kencang karena khawatir pada keadaan Kookie. Adik bungsuku itu sekarang kondisinya jadi mudah sakit. Sebenarnya sakit apa yang diderita oleh adikku? Mengapa Jin hyung selalu berubah panik jika Kookie tidak sehat? Apakah sakitnya parah? Tapi mengapa Kookie atau Jin hyung tidak mengatakan apa-apa padaku atau kepada yang lain?

Aku menatap pintu kamar Kookie di lantai dua yang masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda Jin Hyung akan keluar dalam waktu cepat. Demi Tuhan, aku ingin sekali menerobos masuk dan melihat sendiri bagaimana keadaan Kookie, tapi Jin Hyung bisa marah besar jika aku melanggar perintahnya.

"Mengapa Jin Hyung dan dokter itu tidak segera keluar dari kamar Kookie?" tanya sebuah suara di sampingku membuatku terkejut. Aku menoleh dan menatap sosok Tae yang terlihat begitu cemas.

"Sabarlah, Tae. Sebentar lagi mereka pasti akan keluar." ucapku mencoba menenangkan.

"Sebenarnya Kookie sakit apa, Hyung? Mengapa Kookie tidak mau dibawa ke rumah sakit? Apa yang tidak kita ketahui tentang Kookie, Hyung?" tanya adikku itu dengan dahi berkerut. Kedua mata elangnya berkaca-kaca.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku akan mendobrak pintu kamar Kookie dan mencari tahu apa yang terjadi." seru Jimin tiba-tiba sambil berdiri. Membuatku sangat terkejut mendengar ucapannya.

"Jangan melakukan hal yang bodoh, Jimin-ah! Jin Hyung menyuruh kita untuk menunggu. Jangan membantah ucapannya!" cegah Namjoon tenang. Ia menarik tangan kanan Jimin untuk duduk kembali di sampingnya.

"Geundae, Hyung..." rengek Jimin. Ku lihat Namjoon tersenyum sambil mengacak-acak rambut Jimin.

"Jangan membuat Jin Hyung marah! Aracchi? Kau tahu sendiri seperti apa Jin hyung jika ia sedang marah, kan? Jadi, jangan pernah membuatnya kesal! Hyung tahu kau cemas, tapi bersabarlah sampai Jin Hyung keluar! Eoh?" ucap Namjoon sambil tersenyum lembut menatap Jimin.

Entah mengapa, hatiku rasanya sakit saat melihat bagaimana cara Namjoon menatap Jimin. Tatapan yang sangat lembut dan melindungi. Aku jadi teringat bagaimana tatapan Kookie saat aku, Tae atau Jin hyung sedang memarahinya. Yang Kookie terima hanyalah tatapan penuh kebencian, tidak heran jika ia terlihat sangat takut pada kami.

"Aku takut, Hyung...." ucapan terima Tae menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan mendapati adik kandungku itu sedang menangis.

"Aku takut Kookie sakit gara-gara aku. Aku yang sudah membuatnya meninggalkan rumah dalam cuaca sedingin ini. Aku..."

"Aniya, Tae-ya. Kau jangan menyalahkan dirimu seperti itu! Kookie sakit bukan karena kau." ucapku sambil memegangi bahu Tae dengan kedua tanganku. Tapi adikku itu menggeleng dan terisak.

"Kookie meninggalkan rumah karena aku membentaknya. Aku yang membuatnya ketakutan dan lari. Aku...."

Aku menghentikan ucapan Tae dengan memegangi wajahnya dengan kedua tanganku. Aku menatapnya tajam.

"Kau tahu Hyung tidak suka dengan sifatmu ini, Tae. Bagaimana jika Kookie tahu bahwa kau menyalahkan dirimu karena keadaannya? Kookie akan semakin sedih, Tae-ya. Jangan seperti ini!" tegurku pelan.

"Geundae, Hyung..."

"Sikkeuro! Hyung tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Tutup mulutmu sebelum Hyung merasa kesal, arasseo?"

"Tapi kau sudah kesal, Hyung..." ucapan Tae membuatku melirik tajam padanya dan ia seketika tersenyum sambil memeluk lengan kiriku.

"Ne. Arasseo, Hyung." bisiknya lirih tanpa melepaskan tanganku. Membuatku tanpa sadar mengelus-elus surainya yang berwarna kecoklatan.

𝐂𝐚𝐧 𝐈 𝐇𝐨𝐩𝐞?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang