Bab 14. Pergi Saja

126 9 2
                                    

Keinginan untuk pergi memang ada tetapi keinginan menetap pun juga ada
Bila hati ingin pergi ragaku bisa apa

∆∆∆∆∆

Amara menatap nanar ke arah pintu kamar rawat Pelangi. Air matanya perlahan menjatuhi pipinya. Jika memang pergi jalan satu-satunya, Amara tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ra," Amara menatap ke arah Claudia yang saat ini memegang pundaknya. "jangan pergi, masalah ini harus segera selesai"

Bola mata Amara tak berhenti bergerak sedari tadi. Bingung, gelisah, khawatir bercampur menjadi satu. Apa yang sebenarnya harus Amara lakukan?

"Gue selalu ada di samping lo dari sekarang. Gue gak akan marah ataupun larang lo, lakukan apa yang hati lo katakan Ra jangan dengarkan orang lain," ujar Claudia.

"Makasi Clo." Amara tersenyum lantas memeluk Claudia erat. Gaby, Daniel dan juga Arthur menghampiri mereka berdua. Ikut menenangkan Amara.

Amara melepas pelukannya dengan Claudia lalu tersenyum kepada sahabat-sahabatnya. "Gue pulang dulu ya, ini udah hampir sore pasti keluarga gue nyariin gue" ucap Amara.

"Iya, hati-hati di jalan ya Ra," Amara mengangguk menanggapi perkataan Gaby lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan perasaan sedih.

Aku sayang kamu Al, sumpah dulu aku ngerasa banget jahat sama kamu seharusnya dulu aku gak egois, seharusnya dulu aku gak ngambil keputusan di saat marah dan sedih pasti kita masih bisa tetap sama-sama walaupun mungkin tetap gak akan pernah direstui.

Di sini memang sangat berat buat aku pergi ninggalin masalah ini. Tapi aku gak mau fokus ke sana aja, aku juga mau fokus ke sekolah aku Al. Mungkin keputusan yang paling benar aku memang harus melepas kamu.

Amara terus saja membatin dalam perjalanan pulangnya. Sungguh, Amara benar-benar lelah dengan drama kehidupan yang berkepanjangan seperti ini.

Sesampainya di rumah, Amara melihat mamanya mondar-mandir di ruang tengah. Amara langsung saja mendekati mamanya.

"Ma," Amara memanggil mamanya yang terlihat tengah khawatir.

"Amara, kenapa baru pulang? Kemana aja sih kamu?" tanya Siska bertubi-tubi pada Amara.

"Maaf ma, tadi Amara lupa ngabarin. Amara jenguk teman Amara yang lagi sakit di rumah sakit," ucap Amara berbohong kepada mamanya. Tetapi Amara bukan sepenuhnya berbohong juga karena Pelangi juga temannya.

"Yasudah kalau begitu kamu mandi lalu makan. Kamu pasti belum makan kan dari pulang sekolah," ucap Siska pada putrinya itu.

"Okey ma," balas Amara lantas berjalan menuju kamarnya.

∆∆∆∆

"Pa, papa egois tau gak. Kenapa papa usir Amara sih? Dia kan niatnya baik jenguk Pelangi, kenapa papa malah nyuruh dia pergi?" seloroh Alvian pada papanya. Saat ini mereka tengah berada di depan kamar rawat Pelangi.

"Papa gak suka liat dia dekat sama kamu. Rawat Pelangi saja jangan urusin yang lainnya lagi." Dito membalikkan badannya lalu masuk ke kamar rawat Pelangi.

'Papa keliatannya benar-benar gak suka sama Amara. Tapi masa iya gue suruh dia pergi, gue gak rela.' batin Alvian.

Alvian memijit keningnya pelan, Ia berusaha memikirkan sesuatu. 'Gue harus melakukan sesuatu supaya masalah ini cepat selesai.'

Alvian menyusul papanya ke dalam kamar rawat Pelangi. Sesampainya di dalam ternyata Pelangi masih terjaga. Dilihatnya papanya sedang asik dengan laptopnya, sepertinya urusan papa itu sangat penting.

AlviAra 2 (Lakuna) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang