6. | Teduh

74 43 4
                                    

السلام عليكم... الغ...

Happy Reading...
.
.
.

"Dewi, ada neng alya tuh" ungkap teman sebaya yang setia menemani menulis kekurangan bab kitap nya
Ia pun mendongakkan wajahnya melihat seseorang yang berdiri tak jauh dari ambang pintu asrama nya

Tak ada balasan untuk temannya hanya helaan napas yang lirih, tapi bisa didengar azza. mengayuhkan kaki menuju putri mahkota pesantren
"Assalamualaikum, neng. Mencari siapa?" menundukkan kepala nya sebagaimana ia masih mengetahui tata sopan santun pada anak abbah pesantren

tak ada jawaban pula dari sang putri, hanya menarik lengan dewi menuju lantai satu dan memasuki ruangan kepengurusan.
"Afwan neng, saya masih junior, belum pantas masuk ruangan kepengurusan untuk senior ini" pinta dan usaha melepaskan genggaman alya

"Sudah ikuti saya saja" tanpa menatap ia berbicara lirih karna para santri lain yang memperhatikan keberadaan mereka
"Injih neng" sahut nya sambil mengangguk

Saat memasuki ruangan kepengurusan untuk mengikuti apa yang di minta oleh alya, dewi terhenti langkahnya dan berdiri diambang pintu saat mendapati sosok lelaki berkopyah yang duduk dan sibuk memainkan ponselnya

"Tolong tutup pintunya dewi" pinta alya
Tak menunggu dewi pun menutup nya agar tak didengar oleh santri lain yang lalu lalang diluar

Ia hanya menatap alya yang berbincang sedikit dengan seorang lelaki disofa tengah ruangan yang ukuran nya tak lebih dari 5 × 6 meter itu dengan fasilitas AC yang dinyalakannya entah sejak kapan. Awalnya tangan dewi yang dirasakan dingin sejak kedatangannya alya di asrama putri tadi, hingga diruangan penuh AC ini, semakin dingin dan kaku sembari menggerakan kakinya dan duduk di karpet bebulu.

Bukan apa apa, hanya dewi yang merasa tak pantas saat duduk sejajar dengan putri pemilik pesantren, apalagi satu ruangan dengan sosok sedikit ke bule bule an, dan beriris biru memakai coco, sarung, dan lengkap dengan peci hitam dikepalanya. Yang membuat dewi menatap tak percaya seperti layaknya oppa oppa luar negeri yang menjadi Muallaf. Seperti halnya novel romance , ataupun film serial yang baru baru ini ia tonton di laptop saat jam kosong tiba dengan sobat karip nya.

"Duduk diatas aja, masa saya sama bang adit diatas kamu dibawah sendiri" sambil tersenyum sendu dan menepuk sofa sebelah duduknya
Dewi hanya menggeleng dan kembali menundukkan kepala nya sebagaimana santri lain lakukan saat berkomunikasi dengan keluarga ndalem

"Sudahlah alya, biarkan dia tawadhu' dengan caranya sendiri" kata lelaki itu sambil mematikan ponselnya

Lelaki itu terlihat menghela napasnya dan membenarkan duduknya agar nyaman agar tak terlalu tegang saat berbicara dengan santri pesantren ini

Tanpa basa basi lagi, karna tingkat ke kepoan dewi sudah diujung tanduk. Tak bisa ditahan lagi. Ia pun merani menganggkat wajahnya dan membuka mulutnya
"Afwan neng, kelo boleh tau maksud neng alya mengundang saya kemari untuk apa??" seraya menatap mata alya

Alya tersenyum lebar saat melihat keberanian dewi mengawali pembicaraan sambil mengambil secarik kertas dan bolpoin bertinta biru yang ada didepan nya
"Dewi, kamu tau saat resepsi kak idris kemaren. Yang aku menarikmu untuk bicara padamu dibelakang rumah abby. Nah tak sengaja bang adit ini mendengar percakapan kita kala itu."

Terlihat dewi yang sedang menatap lekat wajah alya yang menjelaskan dengan rinci resepsi lusa kemaren yang digelar merayakan pernikahan putra mahkota. Yang saat itu memang alya memanggil dan memberi tahukan kepadanya agar bersikap se biasa mungkin dihadapan idris dan pendamping nya.

Alya menarik lengan dewi dan mendudukkan disampingnya
Dewi hanya terdiam tak merespon pergerakan alya

"Tapi neng, neng helma ataupun gus idris belum tau kan??" dengan wajah yang menatap penuh harap pada putri sang kyai ini

Date And Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang