26. | Ingat Umi?

19 1 9
                                    


"Bukan saatnya untuk bersedih saat ini, keadaan yang tidak mendukung untuk bersedih. Tapi, kesedihan ini akan tertutup dengan kebahagiaan"


Happy Reading...
.
.
.
Sesosok pria yang berani datang kerumah seorang gadis dengan niat tujuan untuk meminang dan menghalalkan, adalah sosok pria yang sesungguhnya menurut Ara saat ini. Karena, hanya menunggu beberapa menit saja. Sang pujaan yang dimintanya untuk segera menghalalkan dirinya akan melangkah memasuki rumah ayahnya.

"Lalu, gimana tanggapan ayahmu?" tanya Nailil yang menyadarkan Ara dari lamunannya.

Pandangan Ara yang tertunduk perlahan beralih menatap Nailil, "Ayah belum tau, jika bang hamdan kemari untuk melamarku!" pungkasnya.

Tak ada keberanian dari Ara untuk mengungkapkan bahwa akan ada tamu yang datang untuk melamarnya, apalagi seorang pria itu adalah pria yang belum mempunyai pekerjaan. Pria yang hanya mengandalkan keberanian untuk menghadap pria paruh baya yang sering ia panggil dengan sebutan Ayah ini.

Dewi dan Nailil hanya menatap kosong raut wajah Ara, "kenapa nggak bilang jujur aja ra?" tanya Nailil.

Ara menjawab tatapan Dewi dan Nailil dengan gelengan kepala,

"Benar kata Nailil, kalau Ara harus berani, jika Ara memutuskan dan meminta kak Hamdan untuk menghalalkan segera mungkin, jadi Ara juga harus siap fisik atau mental juga. Dan berbicara pada orang tua itu masih termasuk" ucap Dewi.

"Entahlah" jawab Ara singkat.

Bagaimana pun, Ara juga sudah berusaha ingin membahas hal ini pada orang tuanya, tapi hasilnya? Ara yang masih belum sanggup mengungkapkan hal ini. Ia juga sudah berusaha tapi hati dan fisiknya masihlah belum berani. Hatinya tak sanggup mengatakan itu, ia tak rela jika orang tuanya berfikir tentang masa depannya, apalagi saat ia pulang dirumah. Ayah dan Ibu nya lah yang pertama menyambutnya untuk pulang dari Rumah, menganggap bahwa Ara masihlah putri bungsu dari keluarganya, dan putri terkecil dari beberapa saudaranya. Apalagi kakak Ara yang lebih tua 4 tahun darinya. Kak bagas, ia belum menikah.

Itulah perasaan hingga tak berani dan tak tega mengungkapkan hal ini pada Ayah dan Ibu.

toktoktok..

Terdengar pintu diketuk dengan pelan, Ara menatal kosong pintu kamarnya yang masih tertutup rapat.

"Dek, ini ibu!" pungkas seseorang dibalik pintu.

"Ada ibu kamu ra!" ucap Nailil.

Ara mengangguk paham, lalu pelan melangkah kaki untuk membuka pintu.

"Iya bu," jawabnya membuka pintu.

Pintu terbuka lebar, ibu Ara melihat kedua teman Ara yang duduk diatas ranjang dengan membuka beberapa buku yang tak terlalu tebal disana.

"Bu" sapa Dewi dan Nailil saat melihat ibu Ara yang menatapnya.

"Iya nduk, lanjutkan saja!" jawab ibu singkat.

"Ibu, kenapa panggil Ara?" tanya gadis  bungsunya pelan dan menetralkan susana hatinya.

Ibu menatal lekat Ara, "ada teman lelaki yang datang, ia ingin berbicara pada Ayah mu secara serius. Tapi, Ayahmu mengajak kakakmu untuk menemuinya. Mari, kita tunggu diruanh bawah saja. Sepertinya ini hak serius nduk" kata ibu dengan panjang lebar.

Ara sedikit berfikir tentang ucapan ibu, tapi sepertinya ia faham apa yang dimaksud ibunya, "enggeh bu, Ara turun sama Dewi dan Nailil. Ibu duluan saja!" jawab Ara.

"Barengan saja sekarang nduk. Ndak papa pakai jilbab dan baju itu. Ajak temanmu bareng kita sekarang aja ndak papa nduk!" jelas ibu.

Ara terdiam sejenak, lalu setuju dengan perkataan ibu dan mengajak kedua teman gadisnya untuk turun ke ruang keluarga di lantai bawah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Date And Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang