Selamat membaca ^^
Mohon maaf bila ada typo ^^
Seperti kata Arvin, Ataya harus menunggunya di tempat parkir. Meskipun Ataya masih marah dengan Arvin, tapi iya sangat penasaran apa yang Arvin sembunyikan saat ini.
Ataya sudah sampai di tempat parkir dan celingukan mencari keberadaan Arvin. Ataya tidak menemukan Arvin. Ia malah menemukan Mayang yang berjalan dengan Elang dan Arrayan.
“Eh, Aya,” ucap Arrayan.
“Arvin masih di kelas, Ya.” Seolah tahu apa yang ada di pikiran Ataya, Mayang langsung berkata seperti itu.
Ataya mengangguk dan melemparkan senyuman kepada Mayang. “Mau ke mana, kalian?” tanya Ataya.
“Kerja kelompok, Ya,” jawab Elang.
“Arvin, gak ikut? Atau bukan kelompok, kalian?” tanya Ataya lagi.
“Dia, kan, lagi ada acara, jadi, gak papa kok,” jawab Mayang.
“Ay, kita jalan dulu, ya.” Arrayan, Elang dan Mayang pergi meninggalkan Ataya.
Ataya masih menunggu Arvin. Ataya tidak takut Arvin berbohong, soalnya ini menyangkut kejujurannya juga.
Ataya melihat Arvin dari lorong kampus, dengan langkah gontai dan wajah yang sangat pucat. Ataya sebenarnya sangat ingin berlari lalu memeluk Arvin. Tapi, gengsinya lebih besar.
“Nunggu lama, ya?” tanya Arvin.
Ataya menggeleng. “Enggak kok,” singkat Ataya.
“Ya udah yuk! Aku bawanya motor, gak papa?” tanya Arvin lagi.
Ataya mengangguk. “Yuk!” Arvin menarik pergelangan tangan Ataya.
Di dalam hati, Ataya menjerit dan tersenyum. Genggaman tangan Arvin adalah yang selama ini membuatnya selalu salah tingkah. Padahal, Arvin hanya menggenggam tangannya saja.
Sesudah Ataya dan Arvin naik ke atas motor, Arvin langsung menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
“Tumben, bawa motor,” celetuk Ataya.
Arvin sangat jarang membawa motor. Dengan alasan, tidak ingin putri kesayangannya itu terkena sinar matahari.
“Gak papa, udah lama juga aku gak naik motor,” jawab Arvin.
Ataya hanya mengangguk dan membentuk huruf O dengan mulutnya. Jujur, Ataya dan Arvin sama-sama bingung apa yang harus mereka bicarakan.
Mereka tidak biasanya seperti ini. Biasanya, mereka akan sangat bawel satu sama lain, dan selalu membahas hal-hal random yang mereka temui atau alami. Tapi kali ini, mereka sama-sama bungkam dan tidak tahu harus berkata apa.
Selama perjalanan mereka hanya di isi oleh semilir angin dan suara knalpot kendaraan saja.
Sampai di rumah Arvin, Ataya berjalan canggung di belakang Arvin. Biasanya Ataya langsung menyelonong masuk dan memeluk Via atau pun Adinda yang ada di dalam rumah. Tapi kali ini ia berjalan sambil menunduk seperti seorang buronan.
“Aya,” sapa Via.
“Bu,” ujar Ataya lalu memeluk Via.
“Jangan nangis,” ucap Via seperti tahu apa yang akan Ataya lakukan saat ini.
“Ayah udah pulang?” tanya Arvin.
“Ayah masih di jalan. Ada apa, sih, Vin?” tanya Via ingin tahu.
“Arvin mau jujur sama kalian. Arvin gak mau mendam ini lebih lama lagi,” jelas Arvin.
Hati Ataya serasa mendapat hantaman bom. Ia takut, apa yang ia pikirkan menjadi kenyataan.
Ataya duduk di sofa dengan tangan yang ia gerak-gerakan. Jika seperti itu, tandanya Ataya sedang gelisah. Via yang menyadari itu langsung menghampiri dan mengelus rambut Ataya.
“Jangan khawatir, ya. Kita berdoa, supaya Arvin gak kenapa-kenapa,” ujar Via.
Tak lama, Haris datang bersama Dinda. Awalnya Arvin melarang Dinda untuk ikut hari ini, tapi Via menyuruh Arvin untuk jujur ke semua keluarganya. Apalagi, Dinda adalah adik satu-satunya Arvin.
Dinda yang biasanya ceria dan selalu menempel pada Ataya, kali ini ia lebih pendiam dan duduk di sofa yang berhadapan dengan Ataya. Seolah tahu apa yang ingin terjadi, Dinda sudah menyiapkan tisu yang ia simpan di atas meja.
“Mau ngomong apa, Vin?” tanya Haris.
Masalahnya, Haris hari ini ada pertemuan bersama rekan bisnisnya. Tapi Arvin memaksanya untuk segera pulang, karena Arvin ingin berkata sesuatu.
“Arvin, minta maaf, ya.” Arvin berbicara sambil menundukkan kepalanya.
“Maaf kenapa? Emang kamu ada salah apa sama kami?” tanya Via.
“Maaf, karena Arvin udah nutupin hal yang besar ini sama kalian,” kata Arvin.
Jantung Ataya sudah berdetak tidak wajar. Rasanya air mata Ataya ingin tumpah saat itu juga. Tapi Ataya masih melihat situasi dan kondisi.
“Ke intinya aja Vin,” titah Haris.
“Arvin mengidap penyakit TBC Yah, Bu,” jujur Arvin.
Air mata Ataya langsung keluar sejadi-jadinya. Ternyata, apa yang Ataya pikirkan benar adanya.
Via dan Haris saling tatap dengan tatapan sendu. Ia tak menyangka, kalau anak sulungnya itu akan mengidap penyakit TBC, salah satu penyakit yang menular dan mematikan.
“Vin,” ucap Ataya dengan air matanya.
“Maafin aku, Ay,” tutur Arvin menunduk.
“Kenapa kamu gak jujur sama Ayah? Kamu malu? Apa yang harus malu. Arvin, kalau kamu jujur sebelumnya, pasti kamu udah dapat perawatan yang baik,” ujar Haris.
“Arvin udah sering perawatan Yah, Arvin udah bolak-balik ke dokter keluarga kita. Arvin pikir, penyakit Arvin akan sembuh dengan obat-obatan. Tapi, nyatanya gak bisa,” ucap Arvin kemudian air matanya keluar dari mata indah Arvin.
Dinda yang sudah banjir air mata dari tadi langsung pergi ke kamarnya dengan langkah kaki besar.
Via memeluk Ataya yang sudah terisak. Bingung apa yang harus mereka lakukan saat ini.
“Maafin Arvin, Yah, Bu, Ay, Arvin udah bohong sama kalian. Arvin gak bermaksud ngecewain kalian. Arvin Cuma gak mau kalian sedih. Arvin tadinya mau berobat sampai Arvin sembuh, dan kalian gak tahu tentang penyakit Arvin. Tapi, ternyata penyakit Arvin gak bisa sembuh. Arvin sebaiknya jujur sama kalian, sebelum Arvin meninggal,” ucap Arvin dengan nada bergetar.
Haris langsung memeluk Arvin. Pelukan pertama setelah beberapa tahun Haris tidak memeluk anak sulungnya itu.
“Kamu gak boleh ngomong gitu, Vin. Ayah yakin, kamu bisa sembuh. Kamu harus optimis sembuh Vin,” cakap Haris.
“Vin, jadi pas kamu beli buku ilmu penyakit itu, kamu udah tahu?” tanya Ataya.
“Saat itu, baru gejalanya yang muncul. Saat aku baca tentang TBC, itu gejala yang selama ini aku alami, aku beraniin konsultasi ke dokter, dan benar saja, aku kena penyakit itu,” desih Arvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Võiltus [HWANGSHIN] ✔
RomanceIngin bersama sampai akhir, tapi takdir berkata lain. Cinta yang harus berhenti sampai sini, karena ia harus pergi bersama kenangan yang sudah lama kami buat. Bahagialah di sana lelaki kuatku - Ataya Naura Ningrum.