Dua Puluh Empat

91 22 1
                                    

Selamat membaca^^
Mohon maaf bila ada typo🙏








Selamat membaca^^Mohon maaf bila ada typo🙏

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Tatapan kosong yang Ataya pancarkan saat ini, begitu mendeskripsikan kalau Ataya sedang banyak pikiran. Satu tepukan tangan mendarat di pundak Ataya.

Secara otomatis Ataya menengok, siapa yang menepuknya dan duduk di sebelahnya itu. Ternyata Bayu, teman Ataya.

“Ada masalah, ya?” tanya Bayu.

Bibir kecil Ataya melengkung ke atas, sambil menggelengkan kepalanya, seolah tidak terjadi apa-apa dengannya.

“Jangan bohong, gue tahu kok, lu lagi banyak masalah,” tukas Bayu.

“Bay, menurut lu, gue harus apa? Jauhin Arvin karena itu permintaan orang tua gue, atau menjaga Arvin sampai sembuh, tapi gue ngebantah apa kata orang tua,” tanya Ataya.

Bayu berpikir sejenak. Ini pilihan yang sangat susah menurutnya. Ia pasti akan bingung, harus melakukan apa jika itu terjadi pada dirinya.

“Apa gue harus jauhin Arvin? Tapi, gue gak bisa jauh dari Arvin, Bay, gue udah sayang banget sama Arvin.” Secara refleks, Bayu membawa Ataya ke dalam pelukannya.

Tangisan Ataya menjadi. Ia rindu dengan Arvin, yang biasanya selalu memeluknya erat seperti ini. Tapi, saat ini Ataya banyak pikiran pun, Arvin tidak ada di sisinya. Ataya sangat ingin terus berada di dekat Arvin, dan menemaninya sampai Arvin sembuh.

“Ya, kalau emang lu sayang sama Arvin, lu ngomong sama orang tua lu baik-baik. Kalau lu mau ngerawat Arvin sampai Arvin sembuh. Gue yakin, kalau orang tua lu bakal ngerti,” tutur Bayu.

Pelukan keduanya Ataya lepas. Ataya menghadapkan tubuhnya dengan Bayu. “Bay, gue udah berkali-kali ngomong, tapi mereka tetep aja gak ngijinin gue, Bay,” isak Ataya.

Masalah ini sungguh berat bagi Ataya. Bagaimana mungkin Ataya harus memilih antara orang tuanya yang keras kepala tidak memperbolehkan Ataya bertemu dengan Arvin, dan Ataya pun tidak bisa meninggalkan Arvin seperti ini.

Ataya yakin, kalau Arvin akan segera sembuh dan bisa kembali pulih seperti sedia kala.

Dua hari kemarin Arvin pergi ke kampus untuk mengurus beberapa hal penting dengan dosennya. Tapi, Arvin tetap tidak bisa bertemu dengan siapa pun, kecuali dosennya.

Dengan Ataya saja, Arvin tidak bisa bertemu. Rencananya, kali ini Arvin akan menjemput Ataya dari kampus. Kebetulan, Arvin baru pulang dari rumah sakit, setelah konsultasi dengan dokter.

Sella yang baru saja kembali dari toilet langsung bergabung dengan Bayu dan Ataya yang sedang berbincang.

“Ya, nangis?” tanya Sella.

Ataya langsung mengusap air matanya, dan tersenyum sambil menggeleng ke arah Sella.

“Jangan bohong, gue tahu lu Ya. Oh ya, sekarang lu jadi, di jemput, Arvin?” tanya Sella.

Oh iya, Ataya hampir saja lupa dengan janjinya. Saking Ataya sibuk memikirkan untuk merawat Arvin atau tidak.

“Iya, gue hampir aja lupa,” celetuk Ataya.

“Jangan lupa pake masker sama sarung tangan, Ya!” titah Bayu.

Ataya mengangguk lalu berjalan ke dalam kelasnya, untuk membawa tas, karena kelas sudah selesai sedari tadi.

“La, Bay, gue duluan, ya.” Mereka berdua hanya menganggukkan kepalanya mempersilahkan Ataya.

Masker dan sarung tangan sudah Ataya pakai. Bukan karena ia takut tertular, itu karena Arvin yang selalu menyuruhnya. Jika tidak, Arvin akan marah dan tidak ingin berbicara dengan Ataya seperti terakhir kali Ataya berkunjung ke rumahnya.

Senyuman Ataya terus terpancar indah kepada setiap orang yang ia temui di lobi kampusnya. Semua orang hampir mengenali Ataya, karena kepintaran dan sikap lemah lembut Ataya. Selain itu, Ataya terkenal karena ia berpacaran dengan Arvin Mahendra.

Mobil merah sudah terparkir rapi di depan gerbang kampus. Ataya sudah hafal dengan mobil Arvin, bahkan tanpa Arvin suruh, Ataya masuk ke dalam mobil itu.

Di dalam mobil, Arvin tersenyum di balik maskernya, yang hanya menampakkan matanya yang hanya satu garis itu.

“Habis dari dokter, ‘kan?” tanya Ataya.

Mesin mobil di hidup, kan, dan Arvin menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. “Iya, Ay,” jawab Arvin.

“Kata dokternya, gimana?” tanya Ataya lagi.

“Ya gitu, kondisiku tetap sama seperti kemarin. Tidak membaik, atau memburuk,” jawab Arvin.

Sorotan mata Ataya menjadi sendu. Bukan itu yang Ataya harapkan dari jawaban Arvin.

“Kamu selalu minum, obat, ‘kan?” tanya Ataya lagi.

“Iya Ay, aku gak pernah bolong, kok.”

“Bagus. Siapa tahu, kamu bisa sembuh kaya sebelumnya, ya,” ujar Ataya antusias.

Gemas rasanya Arvin dengan tingkah Ataya yang seperti ini. Biasanya, Arvin akan mencubit pipi Ataya, atau mengacak rambut Ataya. Tapi, kali ini ia tidak bisa melakukannya.

“Kita, mau ke mana, Vin?” tanya Ataya.

“Entah, kamu maunya, kita ke mana?” tanya Arvin balik.

“Kita di dalam mobil aja, ngobrol-ngobrol. Kita udah lama gak ngobrol berdua secara langsung,” cakap Ataya.

Setelah Ataya berkata seperti itu, Arvin langsung memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang sedikit kosong.

“Gimana kuliah, kamu?”

“Berjalan dengan sempurna. Tapi, akhir-akhir ini aku gak bisa fokus,” curah Ataya.

“Kenapa? Mikirin aku, ya?” goda Arvin.

“Iya. Aku mikirin kamu sampe pusing kepala aku,” tutur Ataya.

“Lagian, buat apa kamu mikirin aku, Ay,” timpal Arvin.

“Gak tau juga, kenapa, ya?” Ataya pura-pura berpikir, yang membuat Arvin sangat gemas. “Vin, kayanya, aku bakal merawat kamu sampai sembuh, deh.”

Kedua bola mata Arvin membulat sempurna. Ia bingung dengan perkataan Ataya barusan. Apa maksudnya.

“Maksudnya?”

“Kamu, kan, udah gak bisa keluar ke mana-mana lagi, selain rumah sakit. Selama kamu di rumah, aku bakal setiap hari main ke rumah kamu, dan jagain kamu,” jelas Ataya. “Sampai, kamu sembuh total,” lanjutnya.

“Ay, pasti orang tua kamu larang itu, Ay,” kata Arvin. “Sebenarnya, orang tua aku juga ngelarang kamu, buat ke rumah aku,” ucap Arvin.

Ataya langsung syok. Kenapa semua orang malah menjauhkannya dengan Arvin? Ataya sudah berniat untuk menjaga Arvin, tapi semua orang, bahkan dunia pun, melarang Ataya melakukan itu.

“Mereka takut, kalau kamu kenapa-kenapa, Ay,” lanjut Arvin yang takut Ataya berpikir negatif.

“Aku gak perduli Vin, yang penting, aku bakal rawat kamu, sampai kamu sembuh. Tidak menerima penolakan,” timpal Ataya.

Arvin menghela nafas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Arvin tidak bisa melarang Ataya. Lagi pula, Arvin bahagia jika Ataya akan selalu ada di sampingnya. Itu menandakan, bahwa Ataya setia kepadanya.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Võiltus [HWANGSHIN] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang