Dua Puluh Tujuh

98 19 1
                                    

Selamat membaca ^^
Mohon maaf bila ada typo 🙏
Seperti biasa aku jadiin satu part. Maaf kalau sedikit, otak lagi buntu buat mikir😭








 Maaf kalau sedikit, otak lagi buntu buat mikir😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









Gerakan kaki Via sudah tidak beraturan lagi. Dari tadi, ia terus mondar-mandir di depan ruangan rawat Arvin. Saat ini, Arvin berada di rumah sakit. Sedari tadi, ia tidak sadarkan diri, alias pingsan.

Haris sudah memberitahu Via agar tenang dan duduk. Tapi Via tetap saja tidak bisa diam, karena ia takut terjadi apa-apa dengan Arvin.

Kata dokter, Arvin harus di rawat agar bisa di tangani tim medis. Jika terjadi sesuatu pun, para dokter dan suster akan siap menangani Arvin.

Jaket hitam yang Dinda kenakan sudah ia eratkan rapat-rapat. Tapi, tetap saja angin malam yang ada di taman rumah sakit menerobos masuk ke dalam jaket tebalnya.

Dinda memilih untuk diam di taman sendiri, dari pada harus menunggu di dalam dan melihat ibunya yang terus menangis dan gelisah. Dinda sebenarnya sedih, tapi ia lebih memilih diam dan tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang tuanya.

Baru saja Dinda ingin memberi tahu Ataya. Tapi Haris mendatangi Dinda dan bilang, jangan dulu hubungi Ataya. Mengingat saat ini sudah larut malam. Haris khawatir, Ataya akan memaksakan pergi ke rumah sakit.

“Din, kamu pulang, ya. Ayah antar,” celetuk Haris.

Dinda menggeleng. Dinda ingin tetap di sini menemani ibunya yang mungkin sudah kelelahan, karena menangis dan terus mengkhawatirkan Arvin.

“Ya sudah, kita ke dalam! Gak baik lama-lama di luar, anginnya gak bagus,” ajak Haris.

Dinda mengikuti Haris dari belakang. Ia menatap punggung Haris. Punggung yang menurutnya banyak menanggung beban selama ini. Terlihat Haris acuh kepada kedua anaknya. Tapi, sebenarnya, Haris lah yang paling bersedih saat mengetahui Arvin sakit seperti ini.

Dinda mendudukkan bokongnya di sebelah Via yang sedang menundukkan kepalanya, dengan tangan yang menjambak-jambak rambutnya.

“Bu, gak boleh kaya gini,” ujar Haris memegangi tangan Via.

Haris membawa Via ke dalam dekapannya. Hatinya teriris melihat Via menangis seperti ini. Apalagi, saat Via yang menangis dengan menyebut nama Arvin.

“Mending kita berdoa, supaya Arvin baik-baik saja, Bu.”

Kedua tangan Dinda memeluk Via, yang sudah lepas dari pelukan Haris. “Ibu jangan sedih, Dinda di sini. Semoga, Kak Arvin baik-baik aja, bu,” kata Dinda.

Via hanya mengangguk, tanpa suara. Sudah lelah rasanya Via menangis hari ini. Tapi, ia tidak bisa untuk berhenti menangis.





•••••




Setelah tahu kalau Arvin di rawat, selesai kelas, Ataya langsung bergegas pergi ke rumah sakit bersama Arrayan, Sella, Elang dan Nawa. Sebenarnya tidak boleh terlalu banyak orang untuk mengunjungi Arvin. Tapi mereka bersikeras untuk ikut, dan tidak akan masuk ke dalam.

Jari Ataya terus ia gerakan, tandanya Ataya sangat gelisah saat ini. Bagaimana pun, ia merasa bersalah karena sebelum Arvin tidak sadarkan diri, Arvin bermain seharian bersamanya.

Air mata Ataya terus keluar dari matanya. Rasanya Ataya tidak bisa menahan rasa sakit dan takut ini. Sella yang ada di sebelahnya tak melepaskan pelukannya sama sekali. Karena Sella tahu, kalau Ataya sangat butuh pelukan saat ini.

Sesampainya di rumah sakit, hanya Ataya dan Sella yang masuk. Sementara Arrayan, Elang dan Nawa hanya bisa menunggu di luar saja.

Langkah kaki Ataya begitu besar, agar ia segera sampai di ruangan Arvin. “Ya, pelan-pelan,” tegur Sella yang tertinggal jauh.

Ataya menghiraukan ucapan Sella, dan ia hanya fokus dengan langkah kakinya. Melihat Dinda yang tengah duduk di kursi tunggu, Ataya langsung berlari dan memeluk Dinda.

“Din, Arvin gak papa, ‘kan?” tanya Ataya.

“Dari semalam Kak Arvin pingsan dan masih belum sadar, Kak.” Terdengar helaan nafas dari Ataya.

“Ibu sama Ayah, mana?” tanya Ataya lagi.

“Mereka pulang dulu, Kak. Semalam Ibu nangis, dan terus jambakin rambutnya,” jelas Dinda.

Lagi-lagi, Ataya menangis dan merasa bersalah. Harusnya Ataya menolak tegas kemarin. Jika Ataya bisa tegas dengan Arvin, ia tidak akan seperti ini.

“Jangan nangis,” tutur Dinda.

“Arvin kaya gini, gara-gara aku, Din. Coba aja, kemarin aku nolak dia buat main keluar. Arvin gak bakal kaya gini. Ibu juga gak bakal kesakitan kaya gitu,” isak Ataya.

Sella memeluk Ataya dan Dinda memberikan ketenangan untuk dua gadis yang di sayangi Arvin ini. Sella mengerti apa yang mereka berdua rasakan saat ini.

“Ini bukan salah lo, Ya. Bukan salah Dinda juga. Ini bukan salah kita semua, ini takdir dari Allah. Takdir gak bisa di rubah, Ya. Allah terlalu sayang dengan Arvin, hingga Allah memberikan penyakit ini,” tutur Sella. “Kalian tahu, kan, kalau sakit itu mengurangi dosa. Allah itu sayang sama Arvin, percayalah, Arvin bakal sehat kembali,” lanjut Sella yang masih memeluk keduanya.

Sekarang bukan hanya Ataya yang menangis, tangisan Dinda pun seketika pecah. Jadilah mereka saling memeluk dengan tangisan yang saling bersahutan. Padahal, Arvin di dalam ruangan sudah tertidur dengan tenang.


 Padahal, Arvin di dalam ruangan sudah tertidur dengan tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Võiltus [HWANGSHIN] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang