Singto

850 66 0
                                    

PLAK

"Wanita tak tahu diuntung! Aku lelah, aku muak. Beri aku uangmu!"

"Tidak akan! Kamu sudah cukup mabuk, Pa! Kamu tidak menghasilkan uang sama sekali, kamu malah menghamburkannya. Lalu bagaimana kamu bisa lelah?"

Suara samar dari bawah mengganggu tidurku. Tapi aku tidak peduli. Sama sekali tidak peduli. Kenapa juga aku harus bangun disaat seperti ini. Sungguh, apa aku tidak bisa bangun di saat yang agak baik?

PLAK

Cukup. Ini sudah keterlaluan. Aku bangkit dari tidurku. Aku berjalan perlahan. Terlihat tangan papa sudah siap menampar mama lagi. Dengan reflek aku berdiri di depan mama.

PLAK

Telapak tangan papa mengenai pipiku. Sangat keras sampai sepalaku memutar ke samping. Aku menggerakkan rahangku, siapa tahu letaknya berubah. Aku menatap papa atau mulai hari ini akan menjadi orang asing untukku.

"Hah.. HAHAHAHA... Sekarang kau punya pelindung hah? Kehadiranmu tidak penting! Menyingkir kau!" ucap orang itu mendorongku. Tapi aku tidak bergeser sedikitpun. Dia menggeram marah lalu menjambak rambutku keras. Aku sedikit menekuk bibirku menahan sakit. Mama sudah berteriak panik.

"Jangan menjadi sok pahlawan, anak bodoh! Kau tak tahu apa-apa! Tahumu hanya menghabiskan uangku! Menyingkir dari hisupku bangkai! Lenyap kau dari bumi!" teriaknya padaku. Aku masih menatap matanya tajam. Sangat tajam.

"Papa sadar, Pa! Ini Singto, Pa... Singto anakmu, anak kita." Kata mama sambil menggoyang lengan orang itu.

"DIAM KAU JALANG!" katanya sambil mendorong mama. Kepala mama terbentur ujung meja cukup keras. Aku melotot menatapnya. Cukup! Aku tak tahan lagi. Aku menghempaskan tangan orang tadi dari kepalaku, lalu mendorongnya agak keras.

Aku meletakkan tanganku di lehernya dan mendorongnya sampai menabrak dinding. Aku menekan lehernya dengan kedua tanganku. Dia meronta untuk dilepaskan.

"BANGKAI? YA AKU BANGKAI. KAU MINTA AKU KELUAR DARI HIDUPMU? BAIK! TANPA KAU MINTA PUN AKU AKAN KELUAR! LENYAP? HAHA! TIDAK, BUKAN AKU YANG LENYAP TAPI... KAU. KAU YANG AKAN KULENYAPKAN DARI DUNIA INI. DENGAN TANGANKU SENDIRI"

Aku terus menekan lehernya. Wajahnya sudah sangat merah. Aku yakin nafasnya pun sudah melemah. Aku tersenyum miring melihatnya.

"Singto! Singto cukup! Dia papamu. Cukup Singto!" mama menggoyangkan tanganku. aku melirik mama yang saat ini sudah menangis memohon padaku. Tidak. Aku tidak bisa melihat mama menangis. Aku benci. Aku benci air mata mama. Aku kembali menatap tajam pria tadi. Wajahnya sudah sangat merah dan matanya hmpir terpejam. Aku melepaskan tanganku dan seketika ia terjatuh lemas. Mama terduduk masih berusaha membangunkan pria tadi. Mama masih menangis sambil mengipasinya. Perlahan mama membuka kancing kemeja pria tadi dan kancing celana jeansnya untuk melancarkan sirkulasi udara.

"Singto. Kamu pergilah sekolah! Jangan sampai terlambat. Mama akan mengurus papamu" katanya disela tangis. Aku melirik ke arah mama lalu meninggalkannya dan bersiap sekolah. Saat aku kembali ke ruang tadi mama sudah tidak ada disana. Aku langsung keluar saja. Aku tidak peduli.

***

Bangsat! Seharusnya aku membunuhnya tadi. Sialan! Dia berani menampar mamaku. Bahkan dia membuat kepala mama terluka. Suatu saat aku akan membunuhnya. Melenyapkannya dengan tanganku sendiri. akan kubuat dia menyesal telah menyakiti mamaku. Akan kubuat dia menangis darah.

"Bro." Sapa seseorang dan tepukan di pundakku. Lee Thanat, ya itu dia. Aku menepis tangannya agak kasar lau menatapnya tajam. Dia tampak sedikit terkejut dan menatap tepat di mataku. Harusnya dia paham karna dialah yang paling mengertiku-kurasa-tapi dia tidak pergi dari hadapanku.

"Hari ini.. bisa jaga jarak dengan saya? Saya sedang tidak ingin diganggu" kataku. Dia hanya mengangguk dan beralih dari hadapanku. Aku menutup mata berusaha merilekskan pikiran, tapi aku tidak bisa.

SHIT. Ini akan menjadi hari yang panjang untukku.

***

SHIT! Entah sudah berapa kali aku memaki hari ini. Aku benci pelajaran, sangat benci. Aku tidak suka belajar dan kenapa aku masih bangun sialan???!!! Untung saja guru itu dengan baik hati mengeluarkanku dari sekolah. sungguh, tanpa diminta pun aku akan dengan senang hati keluar dari pelajarannya yang memuakkan.

Aku berjalan ke arah lapangan lalu berhenti di sebuah titik. Titik yang sebenarnya tidak ada tapi bagiku sangat jelas. Aku membalikkan badan dan menatap ke arah jendela. Pria itu. Pria yang menabrak bahuku kemarin.

Aku menatapnya tajam, dia masih menatap ke depan. Aku sudah tahu kalau dia duduk di kursiku. Kemarin aku biasa saja. Tapi sekarang aku tidak suka. Aku benci itu aku sangat tidak suka. Aku benci hal itu. Aku menatap dengan tajam. Sangat tajam.

Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Matanya menatapku terkejut, tapi tak lama dia tersenyum kecil. Manis. percaya padaku, dia manis sangat manis. bahkan tanpa tersenyumpun dia manis. tapi aku benci. Aku tidak suka, sangat tidak suka. Aku mengepalkan tanganku menahan emosi.

Dia kembali menatap depan dan tak lama dia kembali menatapku dengan wajah agak takut kurasa. Manis. yang ini baru aku suka. Tanpa sadar aku tersenyum miring padanya. Dia sedikit melotot lalu mengalihkan pandangannya dariku. Aku tahu dia sesekali melirikku tapi aku masih menatapnya dengan posisi yang sama seperti terakhir kali dia melihatku. Tidak berubah satu inchi pun. 

Let's Making Sin : Somebody Unseen [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang