Sebelumnya...
Sang Murid Sempurna, Ketua Osis, Hedra Nandra Saputra.
Hedra adalah murid teladan yang selalu dijuluki "sempurna" oleh para guru dan para murid.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Oh, maaf!" kata gue setelah lama melamun. Gue segera berdiri dan menepuk-nepuk rok seragam yang kotor karena debu. Gue lihat Hedra terduduk di lantai, sejak gue tabrak tadi dia tidak bergerak. Hanya terdiam, duduk di sana tanpa suara.
"Anu, Hedra, lo tidak apa-apa?" tanya gue khawatir. Gue membungkukkan badan dan mengulurkan tangan gue, berniat membantunya berdiri. Dia menengadahkan kepalanya dan menatap gue dengan matanya yang dingin. Dia tidak menyambut uluran tangan gue dan berdiri dengan tenaganya sendiri. Gue pun menarik kembali tangan gue, merasa jadi orang bodoh.
"Kalau jalan hati-hati, lo bisa melukai orang lain bila berlari di koridor seperti tadi," tagur dia dengan nada datar. Dengan raut wajah nervous, gue hanya bisa tertawa ironis sambil menghaturkan kata maaf.
Dia membetulkan posisi dasinya yang agak miring dan saat itu gue baru sadar kalau tangan kirinya terbalut perban. Dia tampak sadar kalau tatapan gue tertuju pada perban putih yang ada di tangan kirinya. Gue menatap matanya dan dia hanya membalas gue dengan tatapan dingin.
Gue hampir ingin menampar diri gue sendiri saat sadar gue nyaris membiarkan topeng gelap gue pecah di sini. Gue berteriak pada diri gue sendiri untuk tetap tenang.
Ada sesuatu pada diri orang ini yang berbeda seperti menyimpan sesuatu yang tidak biasa.
Tapi, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu dan juga bukan urusan gue juga.
"Luka itu...apa lo tidak apa-apa?" tanya gue dengan nada khawatir. Sebuah pertanyaan yang hanya perwujudan dari sopan santun yang standar.
"Tidak apa-apa, gue terjatuh kemarin," jawab dia dengan nada datar dan dingin. Sebuah jawaban yang standar pula.
Dia pun berjalan melewati gue. Gue sadar mata gue masih terpaku pada dia. Namun, gue segera mendesah dan mencubit pipi gue sedikit untuk sadar apa yang gue pikirin.
"Ini bukan saatnya untuk melepaskan topeng lo, inget itu Anisa," bisik gue pada diri gue sendiri pada saat tidak sengaja tunjukin sisi gelap gue.
Anisa POV
Gue segera meraih gagang pintu dan menariknya terbuka. Gue langkahkan kaki masuk ke dalam rumah besar gue yang sepi dan hampa. Gue membuka sepatu gue dan melipat kaus kaki dan gue simpen dirak lalu masuk ke dalamnya. Dengan pelan gue pakai sandal rumah dan berjalan menuju kamar gue.
Satu lagi hari yang penuh kebohongan.
Seharusnya gue menolak ajakan Meri tadi. Ini adalah hal yang tidak biasa. Gue selalu menjaga agar topeng gue selalu terlihat sempurna, bila timbul retakan, gue tak ingin menanggung resiko saat topeng gue pecah di hadapan banyak orang.
Kepala gue sampai pusing karena gue harus mengerahkan tenaga ekstra agar tak ada yang tahu kalau topeng gu retak.
Karena gue adalah "Anisa Safatillah, anak yang selalu ceria, ramah, murah senyum, emosian dan mudah bergaul".
Lalu siapa diri gue sebenarnya?
Siapa diri gue yang asli di balik topeng ini sebenarnya?
Siapa diri gue ini?? apakah pada saat sekolah? atau pada saat topeng gue mau retak dan rusak?
Meski gue menanyakan hal itu tetap tak ada seorang pun yang bisa menjawab.
Gue mendesah lagi. Banyak yang bilang kalau terlalu banyak menghela nafas akan mengurangi satu kebahagiaan. Tapi gue gak peduli, gue saja tidak tau diri gue yang sebenarnya. Gue menyalakan keran dan membasuh muka gue dari debu dan keringat. Gue masih ingat saat topengku retak.
Saat gue bertemu dengan Dia.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Gue menggelengkan kepala gue. Sudah sejak lama gue telah menutup diri gue. Gue percaya kalau gue hanya "sendiri", gue tak membutuhkan orang lain. Tapi juga terasa sakit pada saat gue sendirian diruang gelap. Hati gue membatu dan rasa simpati gue sirna, jikalau ada itu hanya topeng yang menutupi sisi gelap gue. Sekarang yang tersisa hanyalah topeng penuh kebohongan. Tak pernah sekalipun gue membiarkan seseorang mempengaruhi diri gue lagi, tapi mengapa rasanya ada yang aneh.
"Yang pasti luka di tangannya itu bukan karena jatuh, meski dijuluki sebagai murid yang sempurna tapi ternyata seorang Hedra Nanda Saputra bukanlah orang yang pandai berbohong dan menutupi sesuatu," gumam gue pada diri gue sendiri. Gue meraih handuk yang tergantung di sebelah bate up dan menghapus air yang mengalir di wajah gue.
Semua orang memiliki topeng, termasuk si Ketua Osis itu.
Dan gue tak bisa mengatakan topeng macam apa yang dia kenakan dengan kata-kata. Gue juga bingung, dengan topeng yang dipakai gue sekarang.
Gue menoleh lagi pada cermin, gue lihat topeng gue sudah runtuh dan mata gue kembali menjadi gelap dan dingin.
Mata yang gelap. Mata yang mati dimana lo tak bisa temukan cahaya kehidupan di sana.
"Ia...memiliki mata yang sama," gumam gue lagi. Di balik topeng dia yang dingin dan kuat, terdapat sepasang mata yang gelap sama seperti yang gue miliki.
Jadi, karena itu...
"Ya sudahlah, meskipun ia juga memiliki mata yang sama dengan gue, itu sama sekali bukan urusan gue," gumam gue pada diri gue sendiri agar tidak terlalu memusingkan diri dengan urusan lain.
.
.
.
.
.
.
.
.Nex......
By hiding we will not be seen our true faces. But hiding will emerge called emptiness.
Holla ketemu lagi....
Jangan lupa tinggalkan jejaknya woke
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN
Novela JuvenilAnisa adalah gadis manis yang ceria, Anisa selalu tersenyum dimanapun dan kapanpun. Tapi itu hanya diluar, tidak ad yang tau bagaimana sifat asli dari dirinya. Dia juga bingung siapa dia yang sebenarnya??? keceriaan? kegembiraan? semua hanyalah tope...