Zeline mengerjapkan matanya berkali-kali dan kepalanya masih terasa berat. Namun bagian nyeri di perutnya dirasa sudah mulai membaik. Ia masih mencoba untuk benar-benar tersadar. Beberapa detik kemudian, hal pertama yang dilihatnya adalah ruangan bernuansa putih pun dengan jarum infus yang terpasang di tangan kirinya. Kalian pasti sudah tahu dia ada di mana.
Lalu kemudian melirik jam di dinding yang menunjukan pukul 8 malam. Matanya menyapu sekeliling, tas, ponsel, sepatu tidak ada di sana bahkan seragam yang dikenakannya tadi siang juga sudah diganti dengan baju pasien. Ia mencoba untuk memanggil suster. "Perutnya masih terasa nyeri?" tanya suster saat sudah ada di depan gadis itu.
Zeline menggeleng pelan. "Sudah lumayan membaik. Saya dibawa ke sini sama siapa, Sus?"
"Kakak dan juga teman-teman, Mbak."
"Sekarang kakak saya mana?"
"Dia pulang dulu, Mbak."
"Ya udah, makasih, Sus."
Suster itu tersenyum ramah, sebelum melenggang ia mengatakan, "Baik, mbak. Kalau ada apa-apa panggil saya lagi aja."
"Iya," jawab gadis itu.
Sesaat setelah suster pergi, pikirannya tiba-tiba melayang pada kelanjutan perlombaan tadi. Menang tidak, ya? Selain Kak Caesar, ada yang cedara lagi tidak, ya? Fahlepi bagaimana, ya? Eh, ujung-ujungnya cowok itu juga. Zeline masih belum tahu oleh siapa luka lebam di dahinya itu dibuat. Ia masih belum tahu ada siapa di sampingnya waktu ia tak sadarkan diri. Dan, ia juga masih belum tahu bagaimana Fahlepi mengkhawatirkan keadaannya tadi siang. Khawatir di sini hanya benar-benar khawatir, bukan karena ada hal yang lebih dan semoga Zeline paham akan hal itu.
Matanya kembali terpejam, ia butuh istirahat yang cukup dari segala luka yang ada baik itu secara fisik mau pun hati.
[][][][][]
Di ruangan yang bercat hijau daun itu seseorang membaringkan tubuhnya di kasur. Matanya terpejam namun tidak tertidur. Memikirkan segala sesuatu yang terjadi hari ini membuat kepalanyanya sedikit penat. Ia memijat pelipisnya, mengusap wajahnya pelan lalu bangkit menuju ke meja belajar. Di sana ia duduk sembari memainkan ponselnya. Membuka google dan mencari universitas impiannya. Tangannya lincah menggulir di atas benda pipih itu, mencari informasi-informasi untuk memudahkan segalanya nanti.
Cowok itu ingin kuliah di sebuah universitas di Bandung. Tempatnya masih ia rahasiakan dari siapa pun, ia tidak suka terlalu mengumbar. Tipikal orang yang mempunyai prinsip; segala usaha tidak harus orang tahu, yang penting lihat nanti. Ia diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk menjadi manusia yang sederhana. Ia tidak menyukai hal yang tidak menguntungkan dan tidak juga merugikan baginya. Banyak orang yang mengira ia adalah pribadi yang dingin. Mungkin iya jika berkaitan dengan hal yang tidak disukainya. Tapi jauh dari itu, ia adalah seseorang yang sederhana yang mempunyai tingkat kepedulian tinggi. Percayalah.
Sudah bisa tebak ia siapa? Seseorang yang banyak disukai oleh kaum hawa, seseorang yang digilai oleh gadis yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit, seseorang dengan jabatan ketua di oraganisasi intra sekolahnya sekaligus basket, seseorang yang baru saja memenangkan perlombaan dan seseorang yang merasa sangat bersalah siang tadi. Iya, Fahlepi, Fahlepi Jaasin Adhitama. Dan, sekarang kalian sudah tahu sedikit kepribadian dari cowok itu.
Ia menghembuskan nafas berat, dengan waktu yang sama adiknya membuka knop pintu kamarnya sembari mengatakan, "Ayah pengin ketemu sama Abang."
Fahlepi tersenyum lalu mengangguk. Ia segera ke kamar belakang, kamar di mana ayahnya berada. "Sudah jauh lebih membaik, Yah?" tanyanya saat sudah ada di samping pria paruh baya itu. "Alhamdulillah," jawabnya. Pertanyaan dan jawaban yang Fahlepi tahu itu kebohongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK BALIK
Teen FictionTernyata tak mudah mendapatkan hati seseorang yang juga disukai banyak orang. Herannya dari ratusan siswa di sekolahnya, mengapa hanya ketua osisnya itu yang dia cintai. Dia sendiri bahkan tidak mengerti, mengapa hatinya bisa sejatuh itu padanya. D...