BAB 12

35 4 0
                                    

Bangun pagi hari ini rasanya sedikit berbeda. Ada suatu hal yang sudah bebas, sudah lepas dari perangkapnya. Walaupun kemarin jantungannya sempat deg-degan bukan main. Karena sebelumnya ia tidak pernah seberani itu untuk mengambil keputusan. Ini termasuk hal yang nekat, ya? Dan, biasanya orang yang terlalu berani itu 'kan harus bisa bertanggung jawab dan menerima konsekuensinya. Gadis tinggi ekspektasi, memang kamu sudah siap?

Lima menit gadis itu merenggangkan otot-ototnya. Lalu bangkit dan melenggang ke kamar mandi. Selesai dari sana ia kembali lagi ke tempat tidur, merebahkan tubuhnya sebentar sebelum ke bawah untuk sarapan. Tangannya menggapai ponsel di atas nakas. Seperti biasa, ia lupa mematikan data seluler. Saat membuka aplikasi whatsApp, alih-alih ia mendapat pesan dari ... kalian pasti sudah tahu.

Kang Fahlepi
Selamat pagi.

Seketika gadis itu melonjak di atas tempat tidurnya. "ARGH, HAHAHA!" serunya riang sekali. Ini beneran? Ternyata begini rasanya dichatting seseorang yang disuka. Duh, gadis tinggi ekspektasi semoga bahagiamu tidak sampai di sini, ya.

Ini sebenarnya masih ada sisa-sisa rasa malu karena kemarin, sih. Tapi, ia coba memberanikan diri membalas pesannya. Ya, masa tidak dibalas? Itu namanya menyia-nyiakan kesempatan.

Zeline
Pagi, Kang.

Pernah tidak kalian merasakan senang dan malu dalam satu waktu? Atau hanya Zeline saja yang bisa merasakannya? Mungkin kalian masih bingung dengan karakter gadis itu, karena sejauh ini sejujurnya ia juga belum bisa mengenali diri sendiri sepenuhnya. Yang ia lakoni hanya berharap, berharap dan berharap tanpa pernah mau tahu kalau kenyataan tidak pernah sesuai dengan apa yang selalu diharapkannya

Tak lama kemudian Fahlepi membalas.

Kang Fahlepi
Iya, Zeline.

Zeline
Nggak ke mana-mana hari ini, Kang?

[][][][][]

Pagi ini Fahlepi berniat mengantar ibunya ke toko bunga. Ia sudah siap dengan motor cafe race miliknya, menunggu sang ibu yang entah masih sedang apa di dalam rumah. Untuk menghilangkan bosan sesekali ia mengcek handphonenya. Tangannya lincah menggulir notifikasi whatsApp, yang kebanyakan notifikasi dari grup. Sesaat matanya menemukan nama "Zeline" di sana dengan pesan yang belum ia baca. Ketika ia akan membalasnya, ibunya sudah lebih dulu datang dan meminta untuk pergi saat itu juga.

Sepeninggal Dewin, Fahlepi jadi lebih sering di rumah. Sejak saat itu ia merasa memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ibu dan adiknya. Perkara kuliah di luar Jakarta juga tiba-tiba ia pertimbangkan. Berat sekali pikirnya kalau harus benar-benar meninggalkan dua perempuan yang dicintainya. Tapi, terlepas dari itu semua, ia tetap menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya.

Langit Jakarta pagi ini nampak abu-abu sekali, genangan di permukaan bekas hujan semalam juga masih terlihat. Desember memang bulan penutup tahun yang meruah dengan hujan dan mungkin juga kenangan bagi beberapa orang. Perjalanan ke toko bunga yang dimaksud Kinanti kurang lebih menyita waktu 30 menit, jadi lumayan agak jauh. Saat tadi dari rumah sampai detik ini, belum ada yang memulai percakapan. Ibunya terlalu fokus melingkarkan tangan kananya ke tubuh putranya itu, takut jatuh mungkin.

"Mau beli bunga apa, Bu?" tanya Fahlepi kemudian, ia yang pertama memulai percakapan.

"Ngomong apa, Bang? Nggak kedengaran."

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang