Bab 17

26 5 0
                                    

"Makasih, ya, Kak," kata Adara seraya memberikan helm yang baru saja dilepasnya.

Akhirnya mereka berdua sampai dengan selamat. Setelah tadi selamat perjalanan terus diguyur hujan dan dikagetkan dengan petir di atas sana. Beruntungnya kali ini huja sudah reda, jadi Fahlepi bisa melanjutkan jalan pulang.  "Iya, sama-sama."

"Mau mampir dulu, Kak?"

Fahlepi menggeleng pelan. "Lain kali aja."

Gadis itu kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Di detik berikutnya mereka saling bertatapan, yang satu menatap intens, satunya lagi menatap menelaah. Fahlepi merasa seseorang yang dicarinya selama ini, sudah berhasil ia temukan. Ah, tapi ... tidak-tidak. Ia langsung mengenyahkan angan-angannya detik itu juga. Jatuh hati tidak mungkin secepat ini, pikirnya.

"Hati-hati di jalan, Kak."

"Iya."

Detik berikutnya Fahlepi melajukan motornya. Sedangkan masih di posisi yang sama Adara menatap punggung cowok itu yang semakin jauh dan tidak terlihat. Rasanya senang bertemu orang baru, orang baru yang rasanya seperti sudah kenal lama. "Dipikir-pikir romatis juga hujan-hujanan di atas motor bareng dia," lirihnya sembari tersenyum simpul.

Selang beberapa detik Adara mengernyitkan alisnya. Ia baru menyadari perkataan yang spontan keluar dari mulutnya itu. "Apa, sih, Ra!"

[][][][][]

"Bu," seru Fahlepi ketika langkahnya telah sampai di pintu kamar Kinanti. Cowok yang mengenakan kaos polos warna hitam itu masuk lebih dalam dan berakhir duduk di tepi ranjang. Sesaat setelah duduk, ia memijat kaki Kinanti. Lekukan sabit tiba-tiba muncul di bibirnya. Setiap kali Ibunya terlelap dan ternyata napasnya masih terlihat berembus, rasanya tenang sekali. Karena kadang-kadang, entah kenapa rasa cemas akan suatu hal tentang Ibunya selalu datang tiba-tiba tanpa diminta.

Dalam beberapa waktu ke depan hening menyelimuti ruangan bercat hijau tua itu. Kinanti masih diam, menikmati setiap pijatan yang membuat kakinya terasa sedikit lebih ringan. Hingga pada akhirnya ia pun bertanya, "Kenapa, Bang?"

Yang ditanya tiba-tiba mengubah posisi duduknya, lalu menarik napasnya dalam-dalam. "Perkara kuliah, Bu."

Kinanti tersenyum. "Kenapa?"

"Abang kayaknya mau kuliah di Jakarta aja."

Refleks Ibunya itu menautkan kedua alisnya. Dari awal ia sudah tahu Fahlepi akan kuliah di mana dan dengan jurusan apa. Tapi, kenapa tiba-tiba pernyataan itu keluar dari mulutnya. "Loh, kok tiba-tiba mau kuliah di sini. Bukannya mau di Bandung?"

Lekukan sabit di bibir Fahlepi kali ini terlihat sedikit dipaksakan. Kuliah di Bandung dengan jurusan teknik informatika memang cita-citanya selama ini. Tapi, jika ternyata jalannya memang tidak sesuai dengan yang selalu diangan-angankannya, dengan lapang hati ia akan menerima. Yang terpenting ia harus memenuhi tanggung jawab perihal menjaga dua perempuan yang dicintainya.

"Bang?"

Ternyata dari tadi cowok itu melamun. Sesaat setelah tersadar ia langsung menyahut, "Di sini lebih dekat, Bu. Sama Ibu, Kirania dan temen-temen juga."

Raut wajah Kinanti seketika berubah sedu. Sampai sini, jawaban putranya sudah berhasil membuatnya mengerti. Ia tahu betul bahwa tidak sepenuhnya Fahlepi berkata jujur. Sedetik kemudian Kinanti menatap lawan bicaranya intens.

"Kalau kamu ingin kuliah di sini karena khawatir dengan keadaan Ibu, kamu salah. Justru Ibu yang khawatir sama kamu. Saat kampus dan jurusan yang sudah kamu cita-citakan selama ini harus dikubur dalam-dalam karena kekhawatiran yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan. Dan, kamu lebih memilih kuliah di sini dengan keadaan berat hati, apa itu nggak menambah beban pikiran Ibu?"

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang