BAB 9

39 6 0
                                    

Satu bulan berlalu. Tak terasa, sudah satu semester Zeline menempuh kelas 10 nya. Rasa-rasanya baru kemarin ia menjalani masa MPLS, tapi, sekarang sudah hari pertama Ujian Akhir Sekolah saja. Ada yang membuatnya tak nyaman sampai nanti satu minggu ke depan. Tahu tidak apa? Ruangan dia bersebelahan dengan Fahlepi. Ya ampun, bagaimana ini. Ia yakin pasti selama itu juga hatinya tidak akan baik-baik saja, perasaannya pun pasti ikut menggebu-gebu. Ah, membayangkannya saja sudah tidak enak dirasa.

Lama-lama capek juga berangan-angan tentang cowok itu. Ia kira perasaannya telah ikut selesai saat hari terakhir MPLS. Ternyata semakin hari semakin menjadi. Tahu tidak ekspektasi terbodohnya apa? Ia harap cowok itu membalas dengan perasaan yang sama. Gila, benar-benar gila. Ia sudah tahu jawaban dari ekspektasinya apa, tapi ia mengelak untuk tahu. Yang ia lakukan hanya memenangkan argumennya sendiri. Paham tidak, sih kalian dengan perasaan gadis itu? Di bumi manusia sepertinya memang cuma satu bukan, sih?

Selama ini mungkin ia belum atau sudah sadar tapi lagi-lagi mengelak kalau ternyata ia sedang bermain-main dengan ekspektasinya sendiri. Satu sisi ia sudah mulai bosan menelan kecewa yang sebabnya masih itu-itu saja. Sisi lain ia juga tak bisa benar-benar sepenuhnya menghilangkan perasaannya itu, pasti selalu ada celah untuk dipertahankan, itu pasti. Kalau pada akhirnya memang bukan Fahlepi yang ditakdirkan untuknya, semoga ada laki-laki lain yang bisa menghargai perjuangannya.

Heh! Belum, kamu belum memulai berjuang mendapatkan hati cowok itu, gadis tinggi ekspektasi.

[][][][][]

Bel istirahat pun tiba, waktunya hanya sebentar, sih, tak cukup kalau pergi untuk ke kantin. Zeline dan Saras akhirnya memutuskan untuk kembali membuka buku mata pelajaran selanjutnya, di koridor. Matanya dengan jeli membaca lembar demi lembar. Benar saja kan tadi dugaannya, susah nyontek. Pengawasnya tadi ketus sekali, mana tidak bisa diam di tempat lagi malah jalan-jalan berkeliling.

Zeline mengedarkan pandangannya, matanya dengan awas melihat siapa yang lihir mudik di depannya. Takutnya kan ... tidak perlu diberi tahu juga pasti kalian sudah tahu. Kemudian bel masuk berbunyi. Baru saja beberapa langkah ia menangkap sosok laki-laki itu dengan gelak tawa yang kalau dilihat-lihat ingin Zeline bawa pulang. Deg, jantungnya berdegup kencang. Saras menoleh lalu memicingkan matanya mengamati objek yang sedang ditatap oleh Zeline.

"Liatin siapa, sih, Zel? Merah merona gitu pipinya?"

Astaga! Kemudian Zeline menangkup pipinya, merasa malu karena Saras menyadari perubahan raut wajahnya. Kenapa di bumi harus ada spesies manusia sejenis Fahlepi, sih? Ah, ya ampun.

"Nggak juga, ah."

"Nggak usah bohong, kelihatan."

Selesai dengan Saras mengatakan itu, pengawas datang dengan membawa berkas yang bertuliskan 'matematika', wah, meledak.

[][][][][]

"Itu tolong yang di sebelah pojok kanan, matanya jangan jelalatan!"

"Heh kamu! Kursinya yang benar!"

"Yang depan berdua jangan berdiskusi."

Kali ini ruang 1 sedang diawas oleh Pak Barta. Guru yang notabennya sebagai guru tergokil di SMA Maha Karya. Bagaimana tidak? Guru dengan penampilan plontos itu sering menggunakan kacamata tebal dengan gaya bicara yang selalu berlebihan. Beliau cerewet, kelihatan galak padahal tidak, tidak sama sekali. Siswa siswi di sekolah ini sering menjuluki beliau; guru plontos. Karena hanya beliaulah yang memiliki penampilan seperti itu di sekolah ini.

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang