BAB 3

154 24 1
                                    

Di depan kelas X IPA 2, tepatnya kelas Gwen dan Hanna, dengan wajah murungnya Zeline menceritakan mimpinya tadi malam. Mimpi yang seolah nyata. Tak ada yang bisa dilakukannya selain mengeluh. Karena kenapa harus dia yang sejatuh hati ini pada cowok itu.

Padahal kalau bisa, dia tidak ingin memiliki perasaan apa-apa. Ini terlalu sulit diutarakan, tapi tak kuasa juga jika harus terus dipendam. Dan ini bukan pertama kalinya cowok itu hadir di mimpi Zeline. Entah, kenapa.

Kalau kalian ada di posisi Zeline, mungkin kalian akan mengerti bagaimana rumitnya jatuh cinta sendirian.

"Capek gue, Han, Gwen," ucap Zeline.

Hanna menoleh dan mengelus pelan pundaknya.

"Kalau gue boleh jujur, Zel. Memang rumit jatuh cinta sama seseorang yang juga disukai banyak orang." Gwen, sifatnya yang lebih suka terang-terangan selalu menyadarkan Zeline. Diamnya gadis yang sedang murung itu membenarkan dalam hati apa yang baru saja dikatakan sahabatnya.

"Memang rumit, Gwen. Tapi gue juga belum bisa tegas sama perasaan gue sendiri."

Bagai cacing kepanasan. Peribahasa yang tepat untuk Zeline saat ini. Aneh, kenapa ada orang seperti dia, sih. Perasaannya aneh, benar-benar aneh. Kenapa dia tidak sadar bahwa dia justru sedang bermain-main dengan ekspektasinya sendiri. Padahal dia harus bisa merendahkan ekspektasi, serendah mungkin. Karena semakin tinggi ekspektasi, maka semakin luber juga kecewanya.

"GUE CINTA MATI SAMA DIA, ARGH!"

Gwen dan Hanna sontak membulatkan matanya, keduanya saling bertukar pandang. Barusan sahabatnya itu berteriak lantang sekali. Beberapa pasang mata juga melihat kejadian itu, heran dan merasa takut, takut tahu-tahu gila karena cinta. Lebay, tapi memang sudah gila, sih.

"Ya ampun, Zeline Zakeisha."

Gwen dan Hanna sama-sama menggelengkan kepala, tidak habis pikir.

[][][][][]

"Mau ke kantin dulu, Sar?"

Yang ditanya menoleh dan menjawab, "Terserah."

"Memang Saras kalau apa-apa harus gimana Zeline, ya."

Gadis beranama 'Saras' itu terkekeh pelan. "Nggak gitulah, ya cuma ...  ayo aja, deh."

Saras, teman sebangku Zeline sekaligus teman se-ekstra kulikulernya, PMR. Sejak awal masuk kelas X IPA 1, yang bisa diajak ngobrol nyambung sama Zeline ya cuma dia. Tapi, entah memang cuma dia atau Zeline belum bisa mengenali watak teman kelasnya masing-masing. Dengan Saras, Zeline seperti sudah kenal lama. Dia baik, lumayan pendiam anaknya, hobinya melukis dan selalu ikut berorganisasi. Dan, ya, dia anak osis.

Saras multitalent, ya. Hobinya melukis, senangnya berorganisasi dan bisa menjadi palang merah remaja. Hebat.

Dia baru lulus seleksi osis 3 minggu yang lalu. Ini bukan pertama kalinya dia ikut berorganisasi tapi sejak masa putih birunya dia sudah mengalami. Waktu ditanya oleh Zeline, kenapa suka ikut-ikutan yang begitu dan jawabannya pasti akan selalu sama, "Seru, Zel. Kayak punya banyak banget pengalaman". Ya, memang, sih. Tapi Zeline belum punya mental seberani itu untuk ikutan osis.

Selepas merapihkan kembali mukenanya, mereka berdua menuju kantin. Hari ini kantin ramai sekali, entah ada angin apa. Sesaat langkahnya sampai di pintu utama kantin, tatapannya tertuju pada cowok yang juga sama-sama menatapnya sekilas. Tatapan yang mungkin tak sengaja.

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang