BAB 11

37 5 0
                                    

UAS hari terakhir pun tiba. Hal yang seharusnya terdengar menyenangkan, ini malah sebaliknya. Zeline masih dengan kedilemaannya. Ia pikir selama lima hari berturut-turut bertemu dengan cowok itu akan ada keberanian untuk mengutarakan semua yang dia rasa, tapi, ternyata tidak. Dan, ini sudah hari terakhir, sudah tidak akan ada lagi celah untuknya bisa menyatakan. Jujur, saat ini juga ia ingin pergi ke suatu tempat yang orang-orang tidak tahu. Ia ingin menenangkan diri dari rumitnya masalah hati.

Zeline sudah benar-benar berada di ambang kehancuran sekarang. Mengerjakan soal pun jadi tidak fokus dan alhasil dia kena tegur oleh pengawas. Mungkin kedengaran berlebihan sampai bisa 'di ambang kehancuran' segala, tapi, itu kenyataannya. Itu yang ia rasakan tanpa orang lain paham bagaimana perasaannya. Mungkin akan terlihat lebih mudah jika ia semakin merendahkan ekspektasinya.

Selesai mengumpulkan soal ke pengawas, ia langsung menyambar tasnya untuk segera pulang, karena UAS hari ini hanya satu mata pelajaran. Sesaat sampai di koridor, matanya malah beradu tatap dengan seseorang yang ia gilai selama enam bulan terakhir ini. Sedetik kemudian ia memalingkan wajahnya. Ia tidak mau tenggelam dalam sorot mata tak terbaca tapi meneduhkan itu. Kakinya kembali melangkah menuju gerbang, tapi, baru saja beberapa langkah tiba-tiba pergelangan tangannya ada yang mencekal.

"Pulang bareng gue hari ini."

[][][][][]

Televisi di ruangan itu menyala, ada yang menonton tapi kelihatannya sedang tidak menonton. Pikirannya malah melayang ke sana kemari. Raut wajahnya benar-benar menunjukan kalau dia sedang gobar hati. Sulit sekali menerima kenyataan kalau UAS sudah berakhir. Celah terakhir yang seharusnya ia gunakan dengan yakin, yakin untuk menyatakannya hari ini. Ini malah tidak karuan sendiri.

Ia jadi tidak selera makan sejak tadi pagi. Bahkan tidak selera melakukan apa-apa. Tidak menutup kemungkinan ia akan kembali sakit kalau seperti itu terus. Sudah benar-benar tidak tahu harus melakukan apa lagi, akhirnya ia chatting dengan salah satu temannya yang tadi mengajaknya pulang bareng, Gwen.

Zeline
Gwen, lagi ngapain?

Gwen
Lagi bosan nih.

Zeline
Keluar yuk gitu ke mana kek.

Gwen
Boleh juga, tapi, ke mana?

Gwen
Eh, ke rumah Hanna aja gimana?

Gwen
Mood lo masih kayak tadi pulang sekolah, ya, Zel?

Zeline
Iya, ayo, gue siap-siap dulu.

Zeline
Iyaa, Gwen:):

Gwen
Hm, gue juga. Lima menit lagi gue jemput lo.

Mengingat rumah mereka memang tidak terlalu jauh, jadi, lima menit cukuplah untuk sekadar ganti pakaian. Sesuai janjinya lima menit kemudian akhirnya Gwen datang menjemput gadis yang sedang ... ah tidak usah disebutkanlah, bosan kan kalian bacanya? Pesva matic milik Gwen mulai membelah jalanan dengan kecepatan rata-rata. Iya, Gwen memang bisa motor, tapi, ia malas kalau harus memakainya ke sekolah, lebih baik naik metro mini. Tidak hanya Gwen, sih, Hanna dan Zeline juga bisa, tapi, tidak terlalu seperti Gwen.

Sepuluh menit kemudian akhirnya mereka sampai. Penglihatan pertama saat sudah sampai di halaman rumah gadis itu adalah Hanna dengan t-shirt hitam polosnya, hotpants biru navy dan sheet mask yang melekat di wajahnya. Di sana, di teras rumahnya dia memakai sheet mask, ya ampun, Hanna. Dasar, kalau tidak diberi tahu dulu ya begitu penampilannya.

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang