BAB 18

25 5 0
                                    

Pagi ini, kelas 10 IPA 1 sedang berolahraga di lapangan. Materi yang dipelajari kali ini adalah tentang bola voli. Salah satu materi olahraga yang Zeline tidak suka, karena menurutnya permainan bola voli itu bikin capek dan tidak menyenangkan. Dalam keadaan malas gadis itu melakukan pemanasan. Beda kalau dilihat dengan temannya yang lain, yang bersemangat karena bersyukur sekali mendapat jam pelajaran olahraga di pagi hari.

Di samping barisan Zeline ada Saras. Dari sejak datang ke kelas teman Zeline yang hobinya melukis itu tidak ada hentinya tersenyum. Ketika ditanya, ternyata alasannya karena Caesar yang tiba-tiba datang tadi malam membawa sebuket bunga dan kalung untuknya, cowok itu yang membuat lekukan sabit di bibir Saras tak hilang-hilang. Ya ampun, hal itu termasuk hal sederhana atau istimewa, sih?

Zeline cuma bisa tersenyum palsu ketika mendengar ceritanya. Bukan, bukannya dia tidak ikut senang dengan apa yang dirasakan Saras. Tapi ... ayolah, perasaan tidak bisa dibohongi. Hatinya kerap kali merasa sesak ketika yang didengar cuma cerita asmara menyenangkan teman-temannya. Beda, amat sangat jauh berbeda dengan cerita asmaranya.

Membanding-bandingkan memang perkara yang tidak baik. Tapi, susah juga untuk dihilangkan dari setiap diri manusia. Pasti kalian semua pernah berada di posisi Zeline, 'kan? Sudah, jujur saja. Bagaimana? Tidak menyenangkan rasanya? Ketika yang bisa dikatakan cuma, "Aku kapan, ya, kayak dia."

Rasa syukur memang kerap kali terasingkan.

Pikirannya jadi melayang ke mana-mana. Sampai tidak menyadari ternyata hanya dia sendiri yang masih melakukan gerakan pemanasan.

"Untuk perempuan boleh duduk dulu, biar laki-laki yang mulai pertama," ujar Pak Tatang, guru olahraga kelas 10.

Langkah Zeline gontai, air mukanya menampakan kalau hari ini dia benar-benar malas melakukan kegiatan. Matanya menyapu sekeliling ketika sudah duduk. Ada yang janggal, yang membuatnya salah fokus ketika melihat dua orang siswa yang sedang ngobrol di depan kelasnya.

Kenapa harus ada di luar, sih?! gumamnya.

Zeline kemudian membuang muka, ini masih pagi dan ia tidak mau cari gara-gara lagi. Lalu objek pandangannya kali ini beralih pada Dino ---sang ketua kelas yang sedang melakukan servis atas. Pandangannya memang ke arah Dino, tapi, pikirannya yang pergi mencari jawaban dari pertanyaan, "Pagi-pagi ngobrolin apa, sih? Kayak penting banget."

"Kang Fahlepi, tuh," goda Saras sambil menyikut lengan Zeline.

"Iya, tahu."

"Lagi ngobrol, terus kelihatannya yang diobrolin kayak penting banget."

"Kayaknya."

"Ngobrol sama Kak Dewa kan ya itu?"

Sebelum beranjak Zeline mengangguk sambil menjawab, "Iya."

"Ayo sekarang perempuannya," kata Pak Tatang bersamaan dengan priwit yang ditiupnya.

[][][][][]

"Udah sana!" seru Zeline dan Gwen bersamaan.

Hanna menghampiri laki-laki yang lengan seragamnya dilipat itu. Bian, laki-laki yang kini sudah resmi jadi pacar Hanna, sejak dua minggu lalu. Akhirnya setelah sekian purnama Bian memberi kepastian pada gadis itu. Padahal awalnya Hanna kira Bian akan sama seperti laki-laki lain yang mendekatinya, yang hanya akan memberi harapan palsu ternyata tidak.

Ketika Hanna tiba di hadapan cowok itu, teman-teman se-gengnya Bian saling sorak-sorai.

"SPONTAN UHUY!"

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang