Di taman belakang seseorang dengan perawakan tidak terlalu tinggi itu menangkup wajahnya. Ia merasa malu dengan kejadian barusan. Akhirnya perasaannya pun kembali menjadi, setelah cukup lama tadi bertatapan. Padahal selama dua minggu kemarin ia sudah mulai membaik, sudah mulai belajar menerima, sudah menjadi dirinya yang periang. Tapi, kenapa kali ini kesesakkan itu kembali lagi. Seolah ruang untuk tenang itu benar-benar tidak ada.
Di balik pohon rindang sahabatnya mengamati dari kejauhan. Ia tak sampai hati melihatnya, akhirnya melangkah mendekat. Ketika sudah sampai, tubuhnya langsung disambar pelukan oleh gadis yang sedang tersedu itu.
"Loh, Zel? Kenapa nangis?"
"Malu, Sar," sahutnya sambil terisak.
Kemudian Saras ikut duduk di bangku taman yang sudah lumayan tua itu. Sambil menenangkan ia kembali bertanya, "Malu kenapa?" Pertanyaan yang mungkin seharusnya tidak ia tanyakan untuk saat ini. Ya, tapi mau bagaimana lagi? Ia juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba Zeline melenggang begitu saja.
Seketika memori Saras tentang kejadian beberapa menit lalu terulang kembali. "Kang Fahlepi, ya?" tanyanya kemudian.
Zeline mengangguk sambil berlirih, "Aku malu ketemu dia, Sar. Aku juga malu tadi pecahin piring dan diliatin sekantin. Aku nggak mau dan nggak suka jadi sorotan orang-orang. Lagi pula, kamu kenapa nggak bilang kalau ternyata kamu ke meja yang ada Kang Fahlepinya?"Saras jadi merasa berdosa setelah mendengar pengakuaan dari gadis berambut sebahu itu. Ia melupakan satu hal tentang; Zeline tidak mau berhadapan langsung -apalagi secara sengaja- dengan seseorang yang ditaksirnya. "Maaf, Zel. Aku lupa, aku nggak bermaksud buat kamu malu." Wajahnya nampak merasa bersalah. Sesekali ia juga mengelus rambut hitam legam gadis itu.
"Loh? Zel?"
Saras dan Zeline tersentak kaget mendapati Gwen dan Hanna tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
"Kenapa nangis?"
"Sar, kenapa Zeline?"
Saras pun akhirnya membuka suara, ia menceritakan semuanya. Gwen dan Hanna mendengarkan dengan saksama, yang jatuhnya pun malah menasehati gadis yang belum berhenti menangis itu. Sedangkan yang dinasehati masih bungkam dan perlahan tangisannya pun mulai reda.
Sial, padahal ini baru hari pertama kembali ke sekolah, kenapa harus diawali dengan kejadian memalukan? Sekarang kalian tahu, Zeline bukan tipikal orang yang suka menjadi sorotan. Karakternya yang memang kadang tak tahu malu, tapi, itu cukup di sekitaran orang-orang terdekatnya, bukan di tempat umum. Dan, sialnya lagi saat matanya beradu tatap dengan iris hitam itu. Ah, kacau.
"Lo nangis, tapi, lo seneng kan ketemu Kang Fahlepi?" goda Hanna yang dibalas putaran bola mata oleh Zeline. Sedangkan, Saras dan Gwen terkekeh pelan.
"Kenapa, ya? Kenapa bisa sampai segininya seorang Zeline Zakeisha mencintai seseorang yang sikap orangnya biasa aja, tapi ... gue heboh sendiri," tuturnya sambil menatap kosong ke depan. "Sar, Gwen, Han, apa ini masih bisa dibilang normal?"
[][][][][]
"Terus, Fah?" tanya Kenzo, ia mulai penasaran dengan cerita yang diceritakan oleh Fahlepi.
Sebenarnya ini adalah cerita yang sering sekali didengar oleh kedua sahabatnya itu, -Kenzo dan Caesar-. Tapi, entah kenapa terus mendengarkannya pun tidak membosankan. Karena di setiap cerita yang diceritakan mempunyai karakter yang beragam. Dari mulai yang unik sampai yang biasa-bisa saja. Sudah bisa tebak Fahlepi sedang bercerita apa?
"Waktu lo jujur tentang perasaan lo yang sebenarnya, dia gimana?" tanya Caesar.
Fahlepi menghembuskan nafasnya kasar, bersamaan dengan itu ia menyandarkan tubuhnya ke tembok sembari menyahut, "Ya, gitu deh kayak cewek-cewek yang lainnyalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK BALIK
Teen FictionTernyata tak mudah mendapatkan hati seseorang yang juga disukai banyak orang. Herannya dari ratusan siswa di sekolahnya, mengapa hanya ketua osisnya itu yang dia cintai. Dia sendiri bahkan tidak mengerti, mengapa hatinya bisa sejatuh itu padanya. D...