BAB 20

20 4 0
                                    

"Astaga Zeline! Mata lo," pekik Gwen ketika ia baru saja duduk di sebelah gadis berambut sebahu itu.

"Gue yakin ini bukan dipipisin sama kecoa," timpal Hanna. Dari gaya bicaranya, sih, terdengar ingin melucu. Tapi, justru ia malah dapat sorotan tajam dari Gwen.

Hening. Gwen dan Zeline padahal  bersebelahan, tapi mereka belum kembali memulai percakapan. Sedangkan Hanna yang duduk di ujung kasur hanya bisa memandangi Zeline dengan tatapan iba.

Dari awal memang cuma mereka yang tahu bagaimana gadis itu menyimpan rasa. Mungkin iya, dulu mereka masih memaklumi. Tapi, sekarang semakin ke sini kondisinya bukan malah semakin membaik tapi justru sebaliknya. Karakter Zeline dan Fahlepi yang bertolak belakanglah yang membuat ini semakin rumit. Yang satu harapannya terlalu tinggi, sedang satunya lagi justru tidak berharap apa-apa.

Lihat? Bukankah sudah terlihat bahwa sama-sama memang tidak akan pernah jadi untuk mereka. Dan, Gwen dan Hanna seolah sedang berada di tengah-tengah. Menyatukan yang tidak akan pernah bisa bersatu, tapi Zeline tidak bisa menerima itu. Bingung, harus dengan cara apalagi menasehati seseorang yang sedang dimabuk asmara.

"Ke mall, yuk? Atau kalau nggak kita jalan-jalan aja," usul Hanna.

"Ke toko buku?" kata Gwen. Usulannya barangkali bisa diiyakan oleh Zeline yang sama-sama senang kalau diajak ke toko buku, tapi ternyata tidak. Kali ini Zeline masih tetap dengan posisinya, bersila sambil memainkan tali gulingnya.

Detik berikutnya Gwen dan Hanna sama-sama menggelengkan kepala. "Nggak mau ke mana-mana, Zel?" tanya Hanna ikut duduk di sebelah kanannya Zeline.

"Gue cuma mau di rumah. Kalau kalian mau pergi, yaudah pergi aja," sahut Zeline. Akhirnya ia membuka suara setelah cukup lama tadi hanya diam mematung.

"Gue sama Hanna ke sini buat bikin lo seneng, buat bikin lo lupa sama kesedihan lo. Dan, buat bikin lo sadar, yang seharusnya dipikirkan bukan tentang Kang Fahlepi doang. Tapi, masih banyak lagi yang lebih penting dari itu," kata Gwen sembari mengubah posisi duduknya jadi menghadap Zeline.

Zeline menoleh sembari mengernyitkan alisnya, seperti ada ucapan Gwen yang tidak berkenan di hatinya. "Bikin gue sadar? Maksud lo?"

"Selama ini lo cuma nyakitin diri sendiri, Zel. Gue tahu lo cinta mati sama dia, tapi cukup kalau dia nggak bisa balas dengan perasaan yang sama lo harus terima itu."

Zeline sempat bungkam beberapa detik. Lalu ia tersenyum miring dan mengatakan, "Setiap orang berhak memperjuangkan apa-apa yang dicintainya. Gue tahu, perjalanan gue dapetin dia memang serumit ini. Tapi, lo sadar nggak, sih, Gwen? Yang lo katakan nunjukin omong kosong lo. Selama ini lo sama Hanna selalu nyemangatin gue buat berjuang dapetin hati dia. Tapi, nyatanya lo juga yang matahin semangat itu."

"Zel, bukannya gue matahin semangat lo. Gue cuma nggak tega lihat kondisi lo dengan mencintai dia yang semakin ke sini semakin kelihatan memburuk. Lo berangan-angan boleh, tapi sewajarnya."

"Yang dibilang Gwen memang benar, Zel. Gue sama Gwen sayang banget sama lo, makanya kita berdua nggak suka lihat lo kayak gini terus," kata Hanna menambahi.

Tanpa sadar gadis itu kembali menitikan air mata. Kali ini ia merasa orang-orang sedang tidak berpihak padanya bahkan semesta juga. Gwen bilang, ia ke sini untuk buat Zeline senang tapi malah sebaliknya. Hanna bilang, ia sayang Zeline tapi malah membenarkan ucapan Gwen.

"Waktu itu gue pernah bilang sama lo. Bahwa cinta nggak harus memiliki. Tap---"

"Tapi itu nggak berlaku buat gue, Gwen!" seru Zeline ketika bersamaan dengan itu cairan bening yang ada di kelopak matanya semakin terjun dengan bebas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang