BAB 10

44 4 0
                                    

Langit Jakarta tampak kelabu hari ini, kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Di atas motor gadis dengan rambut digerai itu dari tadi tak henti-hentinya tersenyum. Ini sepertinya semesta sedang ingin membuatnya senang. Entah memang ingin membuat senang atau hanya teguran untuk jangan terlalu senang. Tapi, ya, bagaimana lagi? Siapa yang tidak senang diantar pulang oleh salah satu cowok yang terkenal acuh tak acuh di sekolahnya.

Diam-diam cowok yang sedang mengemudi roda duanya itu mencuri pandang lewat kaca spion. Senyumnya manis, menurutnya. Tolong, ini tidak sesederhana kelihatannya karena dari tadi jantung gadis itu berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Ah, sudah lama ia tidak dibuat terbang ke awang-awang seperti ini.

Beberapa menit kemudian rintik hujan turun. Awalnya mereka ingin meneruskan perjalanan, tapi, lama-kelamaan hujan turun deras. "Neduh dulu, ya," kata cowok itu dengan sedikit berteriak karena suara hujan lebih keras dari pada suaranya.

"Iya, Kak."

Sedetik kemudian cowok itu menepikan motornya di sebuah warung kecil. Di sana juga terlihat ada beberapa orang yang juga ikut berteduh. Sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepada mereka berdua. Sedang sama-sama bahagia, tapi ternyata langit urung untuk ikut merayakan kesenangan itu. Mungkin langit kali ini lebih berpihak kepada seseorang yang sedang resah hati.

"Dingin, ya, Sar?" Cowok itu menyadari gadis di sampingnya terlihat menggigil. Bagaimana tidak? Orang seragam gadis itu basah kuyup, begitu pun dengan cowok itu, sih.

Saras kemudian mengangguk dan menjawab, "Iya."

"Tunggu sebentar."

Kemudian ia masuk ke dalam warung kecil itu. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa segelas teh hangat yang diberikan kepada gadis itu. "Ini, Sar, untuk membantu menghangatkan," katanya.

Saras masih mematung sambil menatap lekat Caesar di hadapannya. Mimpi apa dia semalam, ya. Saras tahu sekarang, cowok itu ternyata tidak se-dingin kelihatannya. Dan, dilihat-lihat Caesar tampan juga, orangnya terlihat perhatian lagi. Eh, Saras terlalu berlebihan memujinya tidak, sih? Apa jangan-jangan, dia sudah mulai jatuh cinta dengan cowok itu.

"Diambil, Sar, jangan ngeliatin Caesar terus."

Telak. Saras tersenyum canggung, diambilah segelas teh hangat tadi kemudian ia meneguknya. Setelah itu, kedua tangannya ia gunakan untuk mencekal segelas teh hangat tadi agar telapak tangannya tidak terlalu dingin. Sesaat kemudian ia menyadari teh hangat itu ternyata hanya untuknya. Sedang Caesar malah asik memperhatikan hujan yang jatuh menggenangi permukaan.

"Teh hangat Kakak mana?"

"Caesar cuma pesan satu."

"Loh? Kenapa? Ya udah ini, mau?"

Caesar menggeleng sembari mengembangkan senyumnya dan berkata, "Teh hangatnya buat perempuan yang udah berhasil bikin Caesar percaya teori jatuh cinta pandangan pertama, aja."

[][][][][]

Di kamar yang dicat berwarna putih itu seseorang mendekap diri untuk menguatkan hatinya. Isak tangis yang sudah hampir satu jam  masih saja terdengar olehnya sendiri. Di sana hanya ada dia, ditemani perasaan dilema yang tak ada habis-habisnya. Ia menyayanginya, apa itu salah? Sudah jelas-jelas seseorang menyukai orang lain itu hal yang wajar, itu normal. Yang di luar batas mungkin ekspektasinya sendiri. Tuh, kan, lagi-lagi ekspektasi.

Tuhan Maha membolak-balikan hati seorang hamba, apa itu juga mungkin terjadi pada seseorang yang ia gilai sejak enam bulan lalu? Apa mungkin semua yang ia lakoni saat ini akan ada titik baliknya? Apa mungkin seseorang itu juga akan merasakan perasaan yang sama suatu hari nanti? Ah, manusia pikir mungkin itu tidak akan pernah terjadi. Tapi, jauh jika sudah menggunakan rencana Tuhan, rencana-Nya yang selalu di luar pola pikir manusia. Semoga saja, ya.

TITIK BALIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang