1

15.5K 1K 26
                                    

met baca!

1

1

"Hati-hati di jalan. Jangan mengebut," kata Layla ketika mengantar sang adik ke mobil yang terparkir di halaman rumah. Mobil pick up berkabin ganda itu tampak sangat kotor. Debu dan lumpur menempel di mana-mana. Bisa dimaklumi mengingat mobil itu sehari-hari digunakan untuk ke medan perang, alias kebun. Ayah Layla memiliki beberapa hektare kebun kelapa sawit.

Arie, adik Layla yang berusia dua puluh dua tahun, memilih ikut mengurusi kebun daripada melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.

Sementara Layla, dulunya kuliah jurusan akuntansi, berbanding terbalik dengan kegemarannya dibidang tata boga. Waktu itu, ia hanya ikut-ikutan Lusi, sepupunya. Lulus kuliah, alih-alih bekerja sesuai dengan latar pendidikannya, ia justru mengembangkan kegemarannya dalam dunia masak-memasak.

Masakan tertentu akan ia bagikan di akun instagramnya, lengkap dengan resep. Kini ia sudah memiliki belasan ribu pengikut.

Sehari-hari, Layla menjual bolu kemojo dan kremesan renyah bersarang. Ketika awal merintis, yang membeli hanya teman-temannya. Kini, pembelinya kian banyak. Dari untuk sekadar mengudap, arisan, hingga oleh-oleh. Layla juga sering mendapat orderan mengiklankan produk tertentu di instagramnya.

Di usianya yang ke-25, Layla cukup bangga pada diri sendiri. Ia bisa membeli mobil dengan uangnya sendiri, meski masih menyicil dan bukan mobil mewah.

Ketika tiba di dekat mobil, Layla, sang adik, dan Charles—tetangga sekaligus teman sepermainan Layla, berhenti melangkah.

"Charles, ini untuk ibumu. Salam untuk bibi Mira," kata Layla sembari mengulur satu tas kertas berisi dua loyang bolu kemojo buatannya.

Arie dan Charles rutin ke Pekanbaru, entah itu untuk berbelanja kebutuhan pertanian atau pun berlibur. Sama seperti Arie, Charles yang seumuran dengan Layla itu, lebih memilih mengurusi kebun kelapa sawit milik ayahnya dibandingkan kuliah.

Charles menerima tas kertas itu. "Terima kasih, Layla. Kau yakin tak mau ikut pulang?"

Layla menggeleng. "Aku baru pulang tiga minggu yang lalu."

"Tapi tetap saja mama merindukan kakak," sela Arie. "Setiap video call, mama terus bertanya kapan kakak pulang."

Layla tertawa. "Yah..., kita tahu mama maunya kakak tinggal di Bengkalis saja."

"Bengkalis tanah kelahiran kita, Layla. Kenapa kau justru memilih tinggal di sini?" tanya Charles.

Layla memandang pria tinggi bertubuh kekar itu. "Aku betah di sini, Charles." Layla telah beberapa tahun tinggal di Pekanbaru, tepatnya sejak lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di salah satu universitas di Pekanbaru. Ayahnya membelikan rumah untuknya, yang waktu itu ia tinggali bersama Lusi. Sejak lulus kuliah, Layla tinggal sendirian, sementara Lusi bekerja di Jakarta.

Awalnya, sang ayah tidak mengizinkan Layla tinggal sendirian. Namun Layla meyakinkan bahwa kompleks perumahan mereka tersebut aman.

"Menurutku Bengkalis lebih menyenangkan. Tenang. Jauh dari hiruk pikuk."

Layla tertawa. Ya, jika kau menyukai ketenangan tanpa aktivitas kota yang berisik, maka pulau Bengkalis adalah pilihan yang tepat. Sayangnya Layla menyukai kehidupan kota. Ia senang menikmati akhir pekan dengan pergi ke mal, membeli novel di toko buku, atau menonton di bioskop. Semua kegiatan yang sangat ia sukai itu tak bisa dilakukan di kota kelahirannya. Belum ada mal di sana. "Aku lebih senang di sini, Charles."

Charles pun tak berdebat lebih jauh.

Layla berbalik menghadap adiknya dan menyerahkan beberapa tas kertas. "Ini, ada bolu kemojo untuk mama, dan bolu pisang untuk papa. Juga nasi lemak untuk bekal perjalanan kalian."

Arie menerima tas kertas berisi makanan dari sang kakak. "Cake keju kesukaanku tidak ada?"

"Kakak tidak sempat bikin, Arie. Lain kali, ya."

Arie cemberut dan mengangguk lesu dengan dramatis.

Layla menonjok pelan bahu adiknya dan tertawa. Arie pun ikut tertawa.

Tak lama kemudian, Arie dan Charles berpamitan dan masuk ke dalam mobil.

Setelah mobil itu berlalu, Layla mengunci pintu pagar dan masuk ke dalam rumah. Ia melangkah ke sofa dan meraih ponsel dari atas meja.

Tidak ada pesan dari Harvey. Layla menghela napas panjang. Ia duduk di sofa dan meraih sepotong bolu kemojo yang terhidang di sana.

Seminggu sudah berlalu dari malam ia menolak rayuan sang kekasih untuk bercinta. Sejak itu, Layla belum lagi bertemu dengan Harvey, hanya sesekali mereka saling berkirim pesan. Memang selama ini pun mereka tidak setiap hari bertemu. Layla sangat mengerti. Harvey memiliki supermarket terbesar di Pekanbaru. Kekasihnya itu sangat sibuk. Apalagi, Harvey berencana membuka cabang supermarket. Saat ini gedungnya sedang dibangun. Akan tetapi, belum pernah mereka tidak berjumpa sampai sepekan.

Layla mengunyah bolu kemojo dengan perasaan kosong. Rasa rindu menggelegak di dadanya. Ia sangat ingin bertemu sang kekasih. Namun, sang kekasih tak juga kunjung menampakkan muka. Haruskah ia yang mengunjungi kekasihnya itu?

Tidak. Tidak. Layla menggeleng. Ia tak boleh mengganggu kesibukan Harvey. Jadi Layla akan menunggu, meski rindu di dadanya amat menyesakkan.

***

please, tinggalkan vote dan komen cetar ya gaes biar makin semangat. thanks

Evathink

ig : evathink

5 mei 2020

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang