10

11K 906 37
                                    

10

Sore itu cuaca cerah. Udara di rumah mungil Layla terasa agak panas. Ia mengelap kening yang berkeringat dengan handuk kecil sembari memandang meja makannya yang dipenuhi dua puluh loyang bolu kemojo pesanan pelanggannya. Binar puas memancar dari iris cokelat keemasannya.

Suara mobil yang berhenti di depan rumah, menarik perhatian Layla. Ia meninggalkan ruang makan dan berjalan ke pintu.

"Kau serius?"

Begitu pintu teralis dibuka, ia langsung mendapat todongan pertanyaan itu dari Karenina.

"Apa?" tanya Layla bingung.

Karenina melangkah masuk. Layla menutup pintu teralis dan menguncinya.

"Kau akan menikah, tiga minggu lagi?"

Senyum seketika terulas di bibir Layla. Ia mengangguk.

Karenina duduk di sofa dan mencomot cake lapis legit yang terhidang di atas meja tanpa dipersilakan.

Layla duduk di sofa seberang gadis berambut pendek itu.

"Kau yakin?" tanya Karenina setelah menghabiskan sepotong cake dan meneguk air mineral yang selalu tersedia di meja. Keraguan terpancar jelas di matanya. "Kau tahu dia playboy, bukan?"

Ya, Layla tahu Harvey Almanzo seorang playboy. Siapa yang tak kenal taipan muda pemilik supermarket terbesar di Pekanbaru itu? Pria itu dikelilingi para wanita cantik yang bersedia berlutut di kakinya untuk menyenangkannya.

Layla sendiri tahu tentang Harvey lewat majalah bisnis yang mengekspos kisah sukses sang bujangan, juga dunia percintaannya, tapi baru benar-benar berkenalan dengan pria itu di suatu pesta.

"Ya. Bukankah dia sudah menunjukkan kesetiaan dan keseriusannya dengan melamarku?" Layla mencomot cake lapis legit dan mengigitnya. Cake buatannya ini terasa lezat. Layla mengunyah dengan perasaan puas. Bukan hanya tentang rasa cakenya, tapi juga bentuk tubuhnya yang tetap langsing padahal ia rajin mengamil. Layla rajin berolahraga. Setiap hari, ia selalu menyempatkan diri untuk sit up dan joging di treadmill yang ada di rumah.

"Menikahimu bukan berarti akan setia, Layla. Hubungan kalian baru beberapa bulan. Bukankah sebaiknya menunggu sedikit lebih lama?"

Layla mendesah pelan, lalu meneguk air minum yang tersedia di meja. "Aku yakin dia akan setia padaku. Dia mencintaiku, Nina."

"Apakah dia pernah bilang begitu?"

Layla terdiam. Harvey memang tidak pernah bilang mencintainya, dan Layla pun demikian. Akan tetapi, Harvey sudah menjalin hubungan dengannya selama enam bulan, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam kisah percintaan pria itu. Kalau bukan karena cinta, apalagi?

Karenina menghela napas panjang. "Please, Layla. Usiamu sudah dua puluh lima tahun. Jangan naif. Bahkan remaja berumur tujuh belas tahun saja tak sepolos dirimu."

Layla cemberut. Soal percintaan, Karenina memang lebih berpengalaman. Sahabat yang seusia dengannya itu, yang dikenalnya ketika di bangku kuliah, sudah berkali-kali menjalin hubungan, sementara Layla, hanya pernah berpacaran beberapa kali, masih bisa dihitung dengan jari.

Dua tahun terakhir ia menjomlo. Banyak yang mengajak berpacaran, tapi tak ada yang mampu menggetarkan hatinya, sampai ia bertemu Harvey.

Yah, memang jam terbangnya di dunia asmara tak bisa diadu dengan sang sahabat.

Karenina berpindah duduk ke sisi Layla dan meremas lembut punggung tangan sahabatnya. "Aku peduli padamu, Layla. Aku tak mau kau terburu-buru mengambil keputusan."

Layla bergeming. Ia sangat mengerti akan kepedulian Karenina padanya, akan kecemasan sahabatnya itu. Akan tetapi, Layla mencintai Harvey. Untuk apa ia menolak lamaran pria itu? Layla sudah siap lahir dan batin untuk menjadi istri Harvey. Layla yakin, Harvey tak akan menduakannya. Toh, selama enam bulan mereka menjalin hubungan, Harvey tak pernah berpaling, padahal pria itu terus diburu para wanita cantik dan seksi.

Layla balas meremas tangan Karenina dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Nina, tapi aku harap kau tidak cemas. Percaya padaku, pernikahanku akan bahagia. Harvey akan setia."

Air mata Layla berderai membasahi pipi teringat percakapannya dengan Karenina hampir enam bulan yang lalu itu.

Betapa bodoh dirinya, bukan? Karenina sudah memperingatkan, tapi ia terlalu percaya diri. Berpikir Harvey jatuh cinta kepadanya.

Layla juga ingat, ketika ia mengutarakan perihal lamaran Harvey pada kedua orangtuanya, ayah dan ibunya pun menyuarakan keberatan, menyuruhnya untuk berpacaran sedikit lebih lama lagi. Namun, Layla yang sedang dilamun cinta, telah buta. Ia meyakinkan kedua orangtuanya bahwa keputusannya untuk menikah dengan Harvey adalah keputusan paling tepat yang pernah ia ambil seumur hidupnya. Ia akan bahagia.

Sekarang apa?

Layla meraih tisu kesekian dan membersit hidung. Sejak mendengar percakapan Harvey dan Arion beberapa jam lalu, yang ia lakukan hanya menangis dan menangis. Tak percaya Harvey begitu kejam kepada dirinya.

Layla tertawa dalam tangis. Mengejek kebodohannya. Mengejek kenaifannya.

Ponsel di atas nakas berdering. Layla melihat layarnya.

Karenina memanggil...

"Halo," sambut Layla dengan suara parau oleh tangis.

"Aku di beranda."

***

Evathink
Ig : evathink

Chance versi TAMAT + EPILOG sudah tersedia di GOOGLE PLAY BUKU.

Chance versi TAMAT + EPILOG sudah tersedia di GOOGLE PLAY BUKU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note : cerita tetap dilanjutkan di wattpad, sampai tamat!

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang