8
Sinar hangat mentari pagi memasuki kamar melewati tirai tipis jendela. Harvey memandang pantulan dirinya di cermin. Kemeja berlengan panjang warna abu-abu, dan celana kain jahitan khusus, membalut sempurna tubuhnya.
Tanpa sadar Harvey tersenyum. Harus ia akui, pipi dan juga tubuhnya, tampak lebih berisi. Berat badannya naik 2kg. Untunglah perutnya tidak membuncit. Harvey pikir, ia harus menambah durasi olahraganya jika tak mau tubuhnya diselimuti lemak. Sejak menikah lima bulan lalu, bisa dibilang selera makannya menjadi amat sangat baik. Sang istri sangat pintar memasak dan membuat kudapan. Tak jarang Harvey mendapat kiriman kue-kue atau cake pada siang menjelang sore. Jadi, sulit untuk mencegah berat badan melejit.
Dengan senyum samar masih terulas di bibir, Harvey meninggalkan kamar, berjalan santai menuruni anak tangga satu demi satu menuju lantai dasar.
Tiba di ruang makan, ia melihat Layla sedang sibuk dekat meja makan dengan posisi membelakanginya. Harvey melangkah pelan, lalu memeluk sang istri dari belakang.
Layla terkejut.
"Selamat pagi, Sayang." Harvey mengecup lembut pipi Layla.
Layla berbalik dan tersenyum manis. "Pagi, suamiku."
Harvey mengecup bibir istrinya.
"Ayo duduk, aku baru selesai membuat kopi," kata Layla sembari melepaskan diri. Wanita itu menarik kursi dari balik kepala meja.
Senyum Harvey melebar. Ketika menikahi Layla, ia hanya menginginkan seks yang hebat, sama sekali tak menyangka akan mendapatkan perlakuan bak raja.
Ketika masih lajang, Harvey memiliki pengurus rumah, Bi Minah, yang datang setiap hari untuk membersihkan rumah. Setelah menikahi Layla, Harvey berencana mempekerjakan pengurus rumah yang tinggal bersama mereka dan bisa membantu Layla kapan saja. Ia tak mau sang istri kelelahan. Akan tetapi Layla menolak. Mengatakan ia lebih senang dengan pengurus rumah yang datang di pagi menjelang siang, dan pulang setelah pekerjaannya selesai. Layla ingin tetap memiliki privasi.
Harvey duduk di kursi yang Layla siapkan untuknya. Ia menatap sang istri dengan mata berbinar. "Semakin hari, kau terlihat makin cantik, Sayang."
Rona merah samar merambat di pipi Layla. Wanita itu memandang Harvey dengan malu-malu. "Kau juga makin tampan, Harv."
Harvey tertawa ringan. Pujian sang istri jelas berlebihan. Seharusnya Layla bilang ia tampak sedikit gemuk.
Layla menghidangkan kopi untuk Harvey. Di atas meja makan tampak beberapa biji bakpao dalam sebuah piring.
Harvey mengangkat gelas kopinya dan meniup pelan, lalu menyesap lamban. Kopi buatan Layla adalah kopi ternikmat yang pernah Harvey cicip.
Layla menarik kursi dan duduk. Ia menuang teh yang mengepulkan uap panas ke dalam gelas.
Tidak seperti Harvey yang suka minum kopi—dan wajib setiap pagi, Layla lebih suka teh, atau sesekali cokelat panas.
"Bakpao ini isi apa?" tanya Harvey sembari meraih sebiji bakpao.
"Sayur."
Bakpao sayur adalah kesukaan Harvey. Senyum terukir di bibirnya. Bisa dibilang, sejak menikahi Layla, senyum dengan setia menghias bibirnya. Bagaimana tidak? Hidupnya begitu sempurna. Lima bulan ini tidak ada konflik berarti. Mereka hidup sangat bahagia bak di negeri dongeng.
Harvey menggigit bakpao dan mengunyahnya. Sesaat kemudian ia mendesah nikmat.
Layla tersenyum melihat itu. Tangan langsingnya terulur mengambil bakpao.
Diam-diam Harvey kagum akan bentuk tubuh sang istri yang masih seindah dan selangsing ketika pertama kali mereka bertemu. Mencicipi bermacam-macam makanan sepanjang hari sama sekali tak memengaruhi berat badannya. Layla rutin berolahrga.
"Aku tidak pulang makan siang, nanti," kata Harvey saat teringat kesibukannya hari ini. Rencananya ia akan meninjau proses pembangunan gedung supermarket barunya yang hampir selesai. Memang letaknya masih di pusat kota, tapi Harvey tidak tahu akan berapa lama di sana. Ia tak mau membuat Layla telat makan siang karena menunggunya.
"Oh, oke. Kau ingin makan apa hari ini?"
Hati Harvey menghangat. Setiap pagi dan sore Layla melontarkan pertanyaan itu. "Kau ingin makan apa nanti siang?" Pada sore hari, Harvey akan menerima pesan, kau ingin apa untuk makan malam?
Harvey merasa sangat diperhatikan. Belum pernah ada yang bersikap seperti itu kepadanya. Sederet wanita-wanita yang pernah menjadi kekasihnya, hanya sibuk mengurusi dompet dan restliting celananya.
"Apa pun yang kau masak, akan kumakan, Sayang." Selalu itulah jawaban Harvey setiap kali Layla bertanya. Begitu juga pagi ini.
"Aku hanya akan masak apa yang ingin kau makan."
Harvey telah menghabiskan bakpaonya. Ia meneguk kopinya hingga tandas, lalu bangkit dan menghampiri Layla. Ia merangkul bahu sang istri dan mengecup lembut sudut bibirnya, meski wanita itu sedang mengunyah bakpao. "Sebenarnya aku lebih suka makan dirimu."
Tiba-tiba Harvey merasa ada yang berontak di celananya. Sial! Memikirkan menyapu bibirnya di seluruh tubuh Layla membuat harsratnya bangkit.
Layla tersedak.
Harvey tergelak dan meraih gelas berisi teh dan mengulurkan pada istrinya.
"Kau sangat nakal," kata Layla setelah selesai meneguk teh.
Harvey menyeringai. Matanya terpaku pada setetes teh yang masih melekat di sudut bibir sang istri.
Layla menjilatnya.
Hasrat Harvey terbakar. Ia pun meraih sang istri dan membaringkannya di atas meja.
"Harvey!" teriak Layla terkejut.
Harvey tertawa.
Sesi percintaan panas pun dimulai.
***
Evathink
Ig : evathink
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance
Romance[tamat-sebagian part sudah di unpublish secara acak!] Take Me To Your Heart series #2 Harvey Almanzo menikahi Layla Shevalonica semata-mata demi bisa menikmati kehangatan tubuh gadis itu. Sementara Layla, menikah dengan Harvey karena sungguh-sungguh...