2

10.7K 940 22
                                    

2

Tawa Arion Mahardika berderai.

Harvey Almanzo melirik sebal sahabatnya itu. Keduanya sedang duduk santai di sofa empuk ruang kerja Arion, di hotel pria itu. Dua gelas kopi hitam panas dan cake lapis legit, terhidang di atas meja.

Satu pekan sudah berlalu dari malam Layla menolak bercinta dengannya. Harvey yang uring-uringan akhirnya tak tahan untuk bercerita pada sang sahabat. Jadi, sore itu, setelah meninggalkan supermarketnya, Harvey mampir ke hotel sang sahabat.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Harvey bercerita kalau ia belum berhasil meniduri Layla. Selama ini, baginya meniduri Layla adalah tantangan. Ia sangat bersemangat dengan misinya itu. Akan tetapi, setelah enam bulan berjalan, dan ia masih saja jalan di tempat, yakni hanya sebatas ciuman dan sedikit cumbuan, bukankah bisa dikatakan ia gagal? Ia harus angkat topi pada Layla Shevalonica, bukan? Harus diakui, kekasihnya itu luar biasa tangguh memegang prinsipnya. Kurang apa kelihaian Harvey dalam berciuman dan merayu? Namun ternyata tak mampu menaklukkan Layla Shevalonica.

"Aku datang ke sini bukan untuk ditertawakan," dengkus Harvey kesal.

Alih-alih berhenti, tawa Arion kian meledak.

Harvey pasrah. Akhirnya ia diam dan membiarkan sang sahabat tertawa sepuasnya.

"Kenapa kau tidak berpisah dengannya dan mengencani gadis lain saja?"

"Aku tak bisa." Harvey teringat pertemuan pertamanya dengan Layla. Saat itu pesta pernikahan kenalannya. Layla bukanlah gadis tercantik malam itu. Namun, untuk kali pertama sampai di usianya yang ke-32, Harvey tak mampu mengalihkan pandangan dari seorang wanita. Layla Shevalonica mengenakan gaun berwarna perak tanpa lengan dengan belahan leher berbentuk V, dipadu dengan tas dan sepatu hak tinggi berwarna senada. Penampilannya sederhana, tapi tampak anggun memukau.

Ketika Harvey melihatnya untuk kali pertama dalam keramaian pesta, Layla sedang mengobrol dengan seorang gadis lain. Lesung pipinya muncul ketika ia tersenyum dan tertawa.

Harvey bukanlah satu-satunya pria yang terpesona. Tampak pria lain juga menatap gadis itu lekat-lekat. Harvey merasa sangat beruntung mendapatkan gadis itu sebagai kekasih. Sayang, keberuntungan itu tidak diikuti dengan hadiah kenikmatan.

"Kenapa?" Arion mengangkat alis.

"Apa kau bisa mengencani gadis lain setelah bersama Flora? Aku tak melihat kau berkencan dengan satu wanita pun, kecuali untuk membuat Flora cemburu."

Arion kembali tertawa. "Itu berbeda, oke? Ternyata aku mencintainya. Apa kau mencintai Layla?"

Harvey menyeringai samar. "Tentu saja tidak!"

"Kau yakin?"

Harvey mengangguk mantap. Ia ingat bagaimana dulu Arion dengan penuh percaya diri mengatakan tidak mencintai Flora, tapi berakhir bertekuk lutut di kaki wanita itu. Harvey yakin seyakin-yakinnya dirinya tak akan berakhir seperti sang sahabat.

"Kalau begitu, tentunya kau tak perlu melanjutkan sebuah hubungan yang sia-sia. Sebagai pria normal, kita butuh seks, Kawan. Enam bulan selibat, bukankah menyakitkan?" Arion memanas-manasi.

Harvey terdiam. Sahabatnya itu benar. Berbulan-bulan selibat rasanya menyakitkan. Seks adalah kebutuhan.

"Atau kau bisa diam-diam mengencani gadis lain."

"Dan mengambil risiko ketahuan dan ditinggalkan Layla?"

Arion tertawa. "Kalau begitu, satu-satunya solusi, kau harus menikahinya."

Harvey melirik sang sahabat dengan sorot tak percaya. Menikah demi seks semata? Yang benar saja!

***

semoga suka!

please, vote dan komennya, kawan2! thank youuuu

love,

Evathink

ig : evathink

22 mei 2020



ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang