12

9.4K 941 24
                                    

Note : meski telah tersedia versi ebook, cerita ini tetap dilanjutkan di wattpad sampai tamat ya, gaess.
Happy reading!

teman2, kini chance dan cerita saya yang lainnya tersedia versi PDF, yang minat silakan WA saya 08125517788

teman2, kini chance dan cerita saya yang lainnya tersedia versi PDF, yang minat silakan WA saya 08125517788

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

12

Harvey lega luar biasa ketika tiba di rumah dan mendapati Layla sedang tertidur lelap di ranjang empuk kamar tidur mereka. Namun gerakannya untuk meninggalkan kamar dan bersantai sejenak di taman belakang, terhenti ketika melihat mata sembap sang istri. Ia melangkah mendekati ranjang. Keningnya berkerut dalam saat melihat ada bekas air mata yang mengering di pipi Layla. Istrinya menangis? Kenapa? Inikah alasan Layla tidak merespons pesan dan panggilannya?

Untuk sesaat Harvey hanya mematung, berperang antara ingin membangunkan Layla dan bertanya, atau membiarkannya tidur tapi menahan segala keingintahuan dan kecemasannya.

Pilihan kedualah yang menang. Sambil menghela napas pelan, Harvey melangkah meninggalkan kamar. Ia butuh secangkir kopi, dan untuk kali pertama sejak menikah, Harvey membuat kopinya sendiri.

***

Makan malam berlangsung hening. Untuk kali pertama sejak mereka menikah, menu masakan di meja makan sangat sederhana. Ketika terbangun menjelang pukul tujuh malam setelah ketiduran sepulangnya Karenina, Layla segera terjun ke dapur. Dua puluh menit kemudian, telur dadar dan tumisan sayur kangkung, terhidang di atas meja.

Layla tahu, sepanjang dirinya memasak, Harvey yang duduk di salah satu kursi meja makan, menatapnya hampir tanpa lepas. Layla juga tahu, ketika selesai memasak dan beranjak ke kamar untuk mandi, Harvey mengikutinya. Layla mengabaikannya. Ia bahkan tak mampu memandang wajah Harvey tanpa menunjukkan betapa suaminya itu telah menyakitinya.

Layla selesai makan lebih dulu. Ia hanya makan beberapa suap. Patah hati telah menguras habis seleranya.

"Layla."

Gerakan Layla membawa piring ke bak cuci piring, terhenti. Ia tidak menoleh untuk memandang sang suami. Tiba-tiba Harvey sudah berdiri di sisinya, meraih piring dari tangannya dan meletakkan ke bak cuci piring. Kemudian pria itu meraih kedua tangan Layla dan menggenggamnya.

Layla hanya menunduk. Tak mampu menatap wajah pria yang paling ia cintai, tapi juga dibencinya di saat bersamaan. Pesan sang sahabat agar bersikap seperti biasa, tak mampu ia lakukan.

Harvey menyentuh dagu Layla dan mengangkatnya sedikit agar mata mereka bertemu.

Mau tidak mau, dengan menahan sakit hati, Layla balas menatap sang suami.

"Ada apa, Sayang? Matamu sembap. Kau menangis?" tanya Harvey lembut.

Air mata Layla siap berlomba keluar. Ia menggigit bibir menahan tangis. Andai saja pria itu tahu, karena dirinyalah hari ini Layla menangis hampir tanpa henti.

Layla berusaha mengulas senyum, meski yakin, senyumnya sekaku tembok pagar rumah mereka. "Aku menonton drama Korea. Ceritanya sedih." Untuk kali pertama sejak mengenal Harvey, Layla berbohong pada pria itu. Namun ia tak punya pilihan. Mengatakan kebenaran akan memperumit keadaan. Mungkin Harvey akan menceraikannya, mungkin juga akan mengarang sejuta alasan, yang tak mungkin Layla percayai sedikit pun.

"Kau yakin?" Harvey jelas tak percaya. Pria itu menatap Layla ragu.

Layla memperlebar senyumnya. Urat senyum di wajahnya terasa perih. Ia mengangguk pelan. Setelah itu berbalik dan melangkah ke bak cuci piring.

***

Evathink
IG ; evathink

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang