teman2, kini chance dan cerita saya yang lainnya tersedia versi PDF, yang minat silakan WA saya 08125517788
(cerita dilanjutkan di Wattpad sampai TAMAT)
13
Malam kian larut. Keheningan terasa menggigit. Harvey Almanzo berbaring di sisi sang istri yang tidur memunggunginya. Mata Harvey nyalang menatap langit-kangit kamar dalam cahaya temaram. Kegelisahan menyelimutinya. Berbagai pertanyaan tanpa jawaban memenuhi benaknya.
Apa yang terjadi? Sedikit pun Harvey tidak percaya kalau Layla menangis karena menonton drama Korea. Ya, para wanita memang bisa terbawa perasaan akibat terseret arus cerita yang melankolis. Namun, menangis sampai mata bengkak? Sepertinya tidak mungkin.
Jadi ada apa?
Harvey menarik napas berat. Ia menyamping menghadap sang istri. Napas Layla tampak halus teratur menandakan telah lelap.
Untuk kali pertama sejak mereka menikah—kecuali ketika Layla sedang haid, mereka tidak bercinta. Tadi, ketika Harvey menciumnya saat mereka naik ke peraduan, Layla tidak membalas seperti biasa, dan menolak ketika Harvey bertindak lebih jauh.
Harvey berharap, esok hari suasana hati istrinya itu akan lebih baik dan mau terbuka tentang apa yang telah membuatnya sedih.
***
"Sayang, kau tidak keberatan kalau kita menunda punya anak, bukan?"
Layla yang sedang menyesap teh hangat, menoleh, menatap sang kekasih dengan heran. Kerut samar menghiasi keningnya.
Kala itu seminggu menjelang hari pernikahan mereka. Pada sore dengan rinai gerimis membelai bumi, keduanya duduk di beranda rumah Layla, menikmati teh dan kudapan buatan sang gadis.
Harvey tersenyum lembut. "Aku ingin menikmati waktu berduaan denganmu lebih lama."
Kerut di kening Layla memudar. Meski kecewa karena sebenarnya ia ingin segera punya momongan, tapi alasan sang calon suami membuatnya, mau tidak mau, tersanjung. Harvey pasti sangat mencintainya hingga ingin menikmati waktu sepuasnya dengannya lebih dulu, baru memiliki bayi, bukan? Layla pun mengulas senyum manis. "Yah ..., kalau itu maumu, Sayang. Tapi kira-kira sampai berapa lama?"
"Bagaimana kalau kita bicarakan itu nanti? Yang jelas, aku ingin kau minum pil."
"Baiklah." Layla mengangguk.
Layla duduk di sofa yang ada di kamar dengan dada berat. Kenangan itu menghantamnya dengan telak. Sekarang ia tahu alasan di balik permintaan Harvey waktu itu. Memang tidak ada kebohongan di sana. Harvey mengatakan dengan jelas ia ingin berduaan saja dengan Layla. Yang menyakitkan adalah alasan di balik kata-kata manisnya.
Layla mengerjap. Setetes air mata bergulir di pipinya, diikuti tetes-tetes yang lain. Ia menghela napas panjang dan memandang foto pernikahan mereka yang menempel di dinding di atas kepala ranjang.
Pantas saja dulu Harvey tidak ingin mengadakan pesta, rupanyanya pernikahan mereka hanya bersifat sementara. Harvey pasti ingin sesedikit mungkin orang tahu tentang pernikahan mereka, agar kelak, ketika berpisah, pria itu tak perlu menjawab keingintahuan orang-orang.
Sementara Layla, ayahnya mengadakan pesta pernikahan meriah di kampung. Semua kerabat, teman, kenalan, diundang. Betapa ironis.
Kini, pernikahannya dan Harvey berada di ujung tanduk, apa yang harus Layla lakukan? Berpisah dengan Harvey akan membuat orangtuanya malu. Sementara untuk tetap melanjutkan, sungguh Layla tak kuat bersandiwara. Tadi malam dan tadi pagi saja, butuh energi besar untuk bersikap seolah-olah ia tidak tahu keberengsekan suaminya itu.
Tiba-tiba ponselnya yang ada di atas meja, berdering. Layla tersentak dan meraih ponselnya.
Arie memanggil ...
"Halo?" Layla segera menyambut panggilan tersebut. Tidak biasanya sang adik menghubunginya lewat panggilan. Biasanya mereka cuma berkirim pesan.
"Kak, vertigo Mama kambuh."
Rasa khawatir seketika menyerang Layla. Ibunya memang punya riwayat sakit vertigo. "Bagaimana kondisi Mama sekarang?"
"Yah, masih pusing, katanya. Tadi dokter Iwan sudah memeriksa Mama dan meresepkan obat."
"Kakak akan segera pulang."
Setelah percakapan berakhir, Layla segera berkemas.
Tak lama kemudian, ia sudah melaju di jalan raya dengan mobil mungilnya yang telah berbulan-bulan terpakir manis di garasi.
Layla hanya berpamitan lewat pesan pada Harvey, tak mau suaminya itu mencegahnya pulang sendirian.
Sembari menyetir, pikiran Layla melanglang buana. Mungkin, perpisahan sementara ini baik untuk hubungan mereka. Mungkin waktu yang berlalu akan membuatnya lupa akan percakapan yang didengarnya. Mungkin, sakit hatinya akan membaik dan ia bisa mencintai Harvey seutuhnya seperti dulu lagi.
***
Evathink
Ig : evathink
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance
Romance[tamat-sebagian part sudah di unpublish secara acak!] Take Me To Your Heart series #2 Harvey Almanzo menikahi Layla Shevalonica semata-mata demi bisa menikmati kehangatan tubuh gadis itu. Sementara Layla, menikah dengan Harvey karena sungguh-sungguh...