16

8.3K 945 40
                                    

16

"Nak Harvey barusan telepon."

Layla yang duduk santai di kursi samping rumah dan sedang minum air kelapa muda, tersedak.

Maria, sang ibu, duduk di kursi tak jauh dari putrinya. "Dia menanyai keadaan mama. Kata Arie, Harvey sering mengiriminya pesan, menanyai kondisi mama."

Layla diam. Ia meneguk air kelapanya. Tiga hari sudah ia meninggalkan kota Pekanbaru. Kondisi sang ibu kian membaik. Seharusnya Layla kembali pada suaminya, toh ia sudah tahu keputusan apa yang harus diambil. Akan tetapi Layla bukan jenis orang yang pandai berpura-pura. Jika bertemu Harvey, Layla yakin tak akan mampu menyembunyikan rasa sakit itu dari matanya. Jangan-jangan ia akan menangis di hadapan lelaki berengsek itu.

"Kondisi mama sudah membaik, Layla. Kau boleh pulang ke Pekanbaru. Kasihan suamimu. Tak ada yang mengurusi makan minumnya."

Mungkin niat ibunya baik, tak mau merepotkan sang anak, tapi entah bagaimana, Layla yang sedang sensitif, merasa tersinggung. "Mama mengusirku?"

Maria menepuk pelan paha putrinya. "Tentu saja tidak, Sayang. Mama senang kau ada di sini. Tapi bagaimanapun kau sudah menikah. Kau memiliki kewajiban sebagai istri, tidak baik meninggalkan suami terlalu lama."

Wajah Layla seketika memuram, dan itu tak luput dari mata sang ibu.

Tiga hari ini, Harvey rutin mengirim pesan, yang hanya dibalas Layla sesekali dan sekadarnya. Sementara untuk panggilan, juga panggilan video, Layla mendiamkannya.

Apakah Harvey merindukannya? Merindukan tubuhnya? Apakah wanita lain, yang mungkin mengisi harinya selama Layla tidak ada, tidak cukup memuaskannya?

"Kalian bertengkar?"

Layla tersadar dari lamunannya. "Apa?"

"Kau dan Nak Harvey bertengkar?"

Layla membisu.

"Pertengkaran adalah bumbu dalam kehidupan berumahtangga, Nak. Jika ada masalah, entah kecil atau besar, segera bicarakan. Suami istri harus saling terbuka."

Sayangnya Harvey tidak, desah Layla merana dalam hati. Tanpa sadar matanya memanas ketika teringat bahwa lamaran Harvey dan lima bulan pernikahan mereka yang manis, tak lebih dari obsesi seks pria itu semata.

"Aku ingin berpisah dengan Harvey, Ma," ucap Layla pelan. Layla tahu dirinya egois jika memilih berpisah, padahal tadi malam ia sudah bertekad akan bertahan, demi menjaga air muka kedua orangtuanya. Namun, Layla sadar ia tak akan sanggup hidup serumah, bertatap muka dan disentuh oleh pria yang telah menyakitinya.

"Perpisahan bukan solusi pertengkaran suami istri, Sayang."

Tadinya Layla berharap sang ibu mendukung keputusannya agar ia mantap melangkah, tapi ia harus kecewa. Seharusnya Layla tahu, ibunya bukan generasi modern yang memandang perceraian sebagai hal lumrah dilakukan jika pasangan suami istri sudah merasa tidak cocok. Menikah hanya sekali untuk seumur hidup, itulah yang selalu ibunya katakan padanya dan berpesan agar ia memilih suami baik-baik.

Namun egonya terlalu besar, bukan? Layla terlalu percaya diri dan naif, berpikir playboy seperti Harvey akan jatuh bertekuk lutut di kakinya. Jatuh cinta setengah mati padanya.

"Dia tidak mencintaiku, Ma." Pengakuan itu akhirnya terucap.

Sang ibu memandang putrinya dengan terkejut Layla menunduk dalam-dalam.

"Kalau begitu, kenapa dia menikahimu?"

Demi bisa meniduriku! Tapi itu hanya jeritan di dalam hati, Layla malu mengakuinya pada sang ibu.

Melihat keterdiaman dan penderitaan yang tercermin di wajah Layla, sang ibu menghela napas panjang. "Cinta bisa dipupuk, Layla. Menikah tak selalu melulu tentang cinta. Asalkan kalian berdua bahagia, itu sudah cukup. Cinta akan hadir seiring berjalannya waktu."

"Tanpa cinta, dia akan cepat bosan, Ma. Saat itu tiba, dia akan menceraikanku."

Sang ibu terdiam sejenak, lalu meremas tangan anaknya, berusaha menenangkan. "Kau berpikir terlalu jauh."

"Tidak. Yang kukatakan benar, Ma. Harvey tampan dan kaya, dia dikelilingi wanita-wanita cantik. Tanpa cinta, aku akan terdepak dengan mudah."

"Kalau begitu buat dia jatuh cinta kepadamu."

***

Evathink
Ig : evathink


ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang