4

9.9K 948 33
                                    

4

Harvey duduk di sofa yang ada di kamarnya dan menyesap bir dalam-dalam.

Ciuman panjang dan panas tapi hanya sedikit cumbuan. Itulah yang terjadi tadi sore ketika bertemu Layla. Kerinduannya selama seminggu ini yang mati-matian dipendamnya, sama sekali tak terpuaskan. Tak terlampiaskan.

Tanpa sadar Harvey mengumpat pelan. Frustrasi.

"Atau kau bisa diam-diam mengencani gadis lain."

"Dan mengambil risiko ketahuan dan ditinggalkan Layla?"

Arion tertawa. "Kalau begitu, satu-satunya solusi, kau harus menikahinya."

Sekalipun Harvey tak pernah memikirkan ulang isi percakapannya dengan Arion. Menurutnya, saran sahabatnya itu gila. Tak masuk akal. Menikah bukan keputusan main-main.

Akan tetapi, di malam yang hening dengan hasrat yang menggelegak, mau tak mau, saran sang sahabat merasuki otak Harvey, sedikit demi sedikit.

Nikahi Layla. Nikmati tubuh gadis itu sepuasnya. Jangan pikirkan apa pun lagi.

Suara itu entah datang dari mana.

Perlahan-lahan menggerogoti akal sehatnya.

***

"Menikah?" Layla memandang pria tampan berambut gelap di depannya itu dengan mata membeliak.

Pagi ini, tiada hujan, tiada angin, tiba-tiba Harvey berdiri di depan rumahnya dengan senyum lebar. Kekasihnya itu hampir tak pernah mendatanginya di pagi hari. Hanya sesekali di akhir pekan mereka sarapan bersama—dan hari ini bukan Sabtu atau Minggu.

Harvey tersenyum tipis. "Ya, apakah gagasan menikah denganku sangat mengerikan sehingga ekspresimu seperti itu?"

Layla tersadar dan mengulas senyum kaku pada sang kekasih yang duduk di sofa di seberangnya. Mereka sedang berada di ruang tamu rumah Layla. Di atas meja tampak kopi hitam yang tadi ia hidangkan untuk sang kekasih, masih mengepulkan uap panas. "Aku ..., hanya terkejut. Kita tidak pernah membicarakan ini sebelumnya."

Harvey berpindah duduk ke samping Layla. Ia meremas hangat jari-jemari sang kekasih. "Kita menjalin hubungan sudah cukup lama, bukan? Aku pikir enam bulan cukup untuk meyakinkan kita melangkah lebih jauh."

Layla memandang mata Harvey dalam-dalam. Ia terdiam.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Harvey menunggu jawaban Layla.

Setelah mampu mengatasi keterkejutannya, Layla tersenyum. Senyum bahagia. "Kau serius?"

"Tentu saja. Jadi maukah kau menikah denganku, Sayang?" Harvey mengangkat kedua tangan Layla ke bibir, mengecup lembut sementara matanya menatap sang kekasih dengan mesra.

Dada Layla seakan dipenuhi bunga setaman. Ia mengangguk dengan mata berbinar-binar. "Ya, Harvey. Aku mau!"

***

"Jadi kau akan menikah?"

Seringai mengejek di wajah Arion membuat Harvey mendengkus.

Arion tertawa.

Keduanya saat ini sedang berada di teras rumah Arion, sementara malam kian larut. Sejak Flora hamil—lebih tepatnya hamil kali kedua, karena yang pertama keguguran—Arion sangat jarang meninggalkan sang istri kala malam hari, bahkan untuk menemani Harvey minum-minum di bar.

Menurut Harvey, sahabatnya itu sudah menjadi budak cinta. Dulu Arion pria yang sinis pada cinta, tapi itu sebelum Flora membuatnya jatuh bertekuk lutut.

"Bukankah kau yang menyarankanku menikahinya?"

Alis Arion terangkat. "Kau menganggapnya serius? Padahal aku hanya bercanda."

Harvey memandang pepohonan bunga yang ada di halaman rumah. "Tapi aku rasa itu ide yang cemerlang."

"Pernikahan bukan perkara main-main, Harv."

Harvey memandang sahabatnya dengan sebal. "Sepertinya kau tak senang aku akan menikah."

"Kau ingin menikah hanya untuk bisa berhubungan seks dengan gadis itu. Tidak lucu jika beberapa bulan kemudian, kau menyandang status duda."

"Siapa bilang aku akan bercerai setelah menikah beberapa bulan?"

"Aku mengenalmu seperti mengenal diriku sendiri, Kawan. Kau mudah bosan, sama seperti aku."

"Sepertinya sampai hari ini kau tidak bosan pada Flora. Aku sama sekali belum mencium bau anyir perselingkuhanmu."

"Aku mencintai Flora, dan itu membuatku tak bisa berpaling darinya. Sementara kau? Kau bilang kau tidak mencintai Layla."

Harvey terdiam. Ia memang tidak mencintai Layla. Akan tetapi ia menginginkan gadis itu. Apa pun akan Harvey lakukan untuk memilikinya, termasuk mengambil keputusan besar, yaitu menikah. "Keputusanku sudah final," kata Harvey mantap. Saat ini, ia tak mau memikirkan apa yang akan terjadi nanti pada pernikahannya dan Layla. Yang terpenting, Layla menjadi miliknya, atau ia akan menjadi gila.

Keheningan menyelimuti keduanya.

Harvey meraih jus buah yang tadi Flora hidangkan dan menyesapnya.

"Jadi, apakah kita akan mengundang penari telanjang untuk pesta lajangmu?" Suara Arion memecah keheningan.

Harvey tersedak.

Arion tertawa melihat itu.

"Kau ingin aku tak jadi menikah?? Layla pasti murka jika tahu."

"Layla tidak akan tahu." Arion menyeringai usil.

"Bagaimana jika Flora tahu?"

Seringai usil di wajah Arion seketika hilang tak berjejak.

Harvey tertawa melihat itu."Kenapa? Takut?"

Arion hanya bisa menyeringai masam.

***

Evathink
IG : evathink
01 mei 2020

Ayo vote dan komen kawan2
Vote n komennya terlalu sedikit untuk perbandingan yang baca, padahal dah berusaha update agak panjang
Jd mode malas TT

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang