SEPULUH

179 36 21
                                    

Pagi ini, cuaca sangat panas. Terik matahari seolah membakar lapisan epidermis kulit setiap orang yang berada di bawah sinaran matahari tersebut. Ara, Ghea, dan Tania yang baru saja selesai pembelajaran olahraga di lapangan pun langsung duduk di salah satu kursi gazebo. Mereka tak langsung berganti baju, keringatnya belum kering, gitu kata Ghea.

"Ke kantin langsung aja yuk? Istirahat kurang 15 menit lagi kok," ucap Tania.

"Bentar ah, udah pewe," ucap Ara menimpali dan dibalas decakan Tania.

"Ra, lo masih kontakan sama Rendra?" Tanya Ghea memecah keheningan.

"Huh?" Ara menoleh ke arah Ghea, "udah enggak, lost contact." jawabnya.

"Perasaan lo?" kata Tania menimpali.

"Perasaan gue? Emm, sebenernya susah buat ngelupain sih, beneran. Tapi mau gimana lagi?" jawabnya sembari tersenyum simpul, "lagian Rendra kayaknya udah bahagia sama Alya kok. Gue juga lagi berusaha bahagia dengan kehidupan gue sendiri."

Yap, sebisa mungkin Ara akan berusaha melupakan Rendra. Karena apa? Karena Rendra bahkan tidak lagi memperjuangkannya. Omongannya kala itu di koridor hanya diucap, bukan di jalankan. Apa ini juga salah Ara? Mungkin.

Dalam hubungannya dengan Rendra, keduanya sama-sama salah. Ego remaja yang menguasai mereka. Tidak percaya dan meremehkan perasaan satu sama lain.

"Syukurlah, jangan diterusin galau-galaunya. Gak pantes galau-galauan."
ujar Ghea.

"Heem." balasnya singkat agar menghentikan pembicaraan tentang hubungannya dengan Rendra.

Setelah itu, mereka bertiga segera berganti baju dan segera pergi menuju kantin.

"Gila, panas banget cuy. Neraka bocor apa ya?" ujar Tania sambil mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangannya sendiri.

"Mulut lo minta disambelin pakai sambel gepreknya bu Usi ya, Tan?" kata Ghea.

"Lah ini panas banget, kantin segini gedenya kipas angin cuman satu di setiap warungnya. Gimana gak panas?" ujar Tania masih mengeluh.

"Ya udah si, gak usah ngeluh. Pindah sekolah elit sono." kata Ara dan dibalas dengusan Tania.

Mereka lalu kembali memakan makanan pesanan mereka. Sampai pandangan mata Ghea terarah pada salah satu meja di kantin.

"Ra, lihat arah jam sepuluh." ujar Ghea.

Ara lalu mengarahkan pandangannya ke arah jam sepuluh, Tania pun juga mengikutinya.

Ara ternyenyum, "nah kata dia masih mau ada di samping gue. Tapi sekarang? Hohoo sesuai perkiraan gue."

"Duh, bener-bener omongan cowok sekarang gak bisa dijanjiin. Bullshit semua." ujar Ghea menimpali.

"Udah usaha move on kan, Ra? Gak usah panas ya. Lagian, gue gak munafik, lo juga sekarang sering jalan sama Darren kan? Jadi, kalian sama-sama udah terlepas dari masa-masa indah kalian, kalian akan kembali menemukan seseorang yang mungkin kedepannya bakal jadi pasangan kalian atau kembali cuman jadi kenangan, lagi." ujar Tania.

"Ngutip darimana lo Tan?" ujar Ghea kagum dengan Tania yang bisa jadi sok bijak ini.

"Entah, ngalir aja di otak. Aliran otak gue lagi lancar kali ya. Kenapa gak ngalir waktu tadi ulangan matematika aja sih." jawabnya lalu terkekeh diikuti Ara.

Ara tak menanggapi ucapan Tania dengan kata. Ia hanya mampu mengolah ucapan Tania di dalam benaknya, tak bisa ia keluarkan dengan kata-kata.

Memang, tak jarang seseorang yang hanya bisa memendam pikirannya dan memilih untuk tak bersua. Entah mengalah pada topik pembicaraan ataupun merasa tertohok pada topik pembicaraan yang bisa kemungkinan menjadi pembenaran.

About TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang