Rentang hidup takkan lama
Kelak manusia mati
Lalu haruskah mengeluh tentang akhir yang pasti?Hapus tangismu... Dengarkan
Tinggal sebentar,duduk disini
Jangan ratapi aku seolah telah pergi
Ingat pesanku kau akan bahagia seakan ku ada
Tanpa air mata tanpa deritaEntahlah, Tiba-tiba saja lirik lagu itu terlintas dibenakku langsung kutuliskan semuanya.Itu terjadi ketika aku memikirkan begitu banyak yang datang dan pergi dihidupku tanpa terduga.Beberapa tahun belakangan,banyak terjadi kematian yang menyisakan dukaa mendalam.Walau tahu pada akhirnya kita akan terpisah satu sama lain, tetapi tetap saja...Saat itu terjadi, berat rasanya menerima kenyataan hingga butuh waktu cukup lama untuk merelakan semua yang pergi.
Ketika menulis bab ini, aku tengah sendirian, dalam kamarku yang pengap, dengan segala benda mati yang menumpuk disetiap pojok kamar.
Memikirkan kelak aku akan mati rasanya membuat sekujur tubuhku bergetar.Aku takut, takut tak cukup punya bekal untuk kubawa mati.Tuhan tak akan memberitahu kapan tepatnya saat itu, namun yang kupahami, Tuhan memberi waktu kepada kita untuk mengumpulkan segala ilmu didunia, yang kelak akan menjadi bekal untuk pulang.Jika sudah menyebut kata "pulang", pikiranku lantas tertuju pada anak-anak itu:Peter,William,Hans,Hendrick,Dan Janshen.
Jangan bosan jika membaca tulisanku yang terus menerus mempertanyakan kapan mereka akan pulang? Sebelum aku? Atau setelah aku? Tak pernah ada yang bisa menjawabnya.Hanya Tuhan yang tahu perkara ini.Aku hanya mampu terus menemani mereka hingga kelak aku akan pergi juga meninggalkan mereka,atau mungkin sebaliknya.
Lirik lagu itu adalah salah satu pesan dari lubuk hatiku yang terdalam untuk mereka, jika ternyata aku yang lebih dulu pulang.Yang aku mau,mereka tetap ceria dan memiliki kenakalan khas kanak-kanak, sama seperti kala pertama aku mengenal kelimanya.
Jika menoleh ke kiri dan ke kanan, aku merasa sendirian.Melihat orang lain di sekelilingku, seusiaku, tampak bahagia dengan keluarga kecil mereka yang nyata.Bukan berarti aku tak bahagia, hanya saja terkadang aku merasa butuh seseorang disampingku.Memiliki pendamping dan anak yang bisa kujadikan sebagai rumahku untuk pulang.Semakin bertambah usia,sepertinya kebutuhan manusia semakin banyak, dan saat menulis bab ini, rasanya kebutuhanku untuk melengkapi hidup terasa semakin mendesak hati dan pikiranku.
Lima sahabat hantu ku ini memang menyenangkan,namun tetap saja mereka tak nyata, dan tak dapat ku rengkuh.
🍁
Malam menjelang,kekosongan ini terasa semakin menyiksa.Apalagi tatkala tahu kelima sahabatku tak bisa datang kemari.
Mereka tengah bersama Norah,guru kesayangan mereka disekolah malam tempat mereka kini belajar.Sementara itu, adikku satu-satunya pun tengah sibuk menyiapkan hari pernikahan yang sebentar lagi akan dia jelang.
Sempat aku merasa sangat ketakutan,takut sendirian.
Aku gelisah memikirkan bagaimana jika tak ada lagi "mereka",bagaimana jika tak ada lagi adikku dirumah,tak ada siapa pun yang bisa menemaniku.Itu membuatku sangat tertekan,sampai-sampai aku harus berkonsultasi dengan seorang psikiater dirumah sakit karena ketakutan yang terasa semakin berlebihan ini.Dan dokter memberikan obat penenang agar otakku tak terlalu banyak memikirkan hal yang belum tentu akan terjadi.Ketakutanku ini menyebabkan segala permasalahan kecil disekelilingku menjadi terasa besar,sehingga mimpi buruk pun terasa sangat nyata.
Malam tadi tiba-tiba saja aku bermimpi tentang kematianku.Dalam mimpi itu, aku kesakitan sendirian, tanpa siapa pun di dekatku.Saat kupanggil-panggil, kelima sahabat hantuku tak datang.Kupanggil kedua orang tuaku, adik, saudara-saudaraku, tak ada yang datang.Semua serba hitam, gelap, dan pengap.Bagaikan ada sebuah cermin yang mengilap diujung sana, jadi sambil tertatih aku berjalan menuju kilatan itu.Benar, ada cermin disana.Dan aku menatap pantulan rupaku dicermin itu.
Tangisku pecah.Dicermin itu, aku melihat wajahku sendiri, pucat pasi, dengan kepala botak tanpa sehelai rambut pun.Aku mengenakan baju putih, dan sorot mataku terlihat redup, tidak seperti yang biasanya kulihat setiap hari dicermin.Kuyakinkan diriku bahwa aku telah mati, sendirian, kesepian, tanpa ada yang bisa kumintai tolong.
Aku tak sadar bahwa ini adalah mimpi.Tangisku pecah, badanku gemetar hebat, hingga aku membuat adikku yang tidur dikamar sebelah terbangun.Dengan resah, dia membangunkanku, menatapku dengan khawatir saat akhirnya aku terbangun.
"Ngga apa-apa, Sa?" Dia bertanya sambil mengerutkan kening.
Mataku terbelalak,masih tak sadar bahwa semua gambaran mengerikan tadi adalah mimpi buruk.Cepat-cepat kupeluk tubuh adikku, kusebut namanya berulang-ulang.Adikku itu terlihat sangat canggung bercampur gelisah.Akhirnya, dia berhasil melepas pelukanku, lalu kembali menatap mataku lekat-lekat.
"Kenapa sih, Sa?" Dia bertanya lagi.
"Astaga, ternyata mimpi.Aku mimpi buruk banget,Ri.Mimpi mati!"Jawabku dengan suara bergetar, nyaris kembali menangis.
Adikku tertawa geli, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan tempat tidurku sambil berkata "Makanya, banyak-banyak berdoa sebelum tidur!Apa-apa aja,Ahh!"
Namun, selepas mimpi itu, aku semakin takut memikirkan kematian.Bagaimana jika ternyata waktuku tak banyak untuk melakukan hal-hal yang ingin kulakukan saat hidup? Tiba-tiba saja, terlintas sesuatu yang ganjil dalam benakku.Aku akan menulis surat wasiat!
Bagaikan akan segera mati, kutulis beberapa kesana dan pesan di kertas-kertas putih yang kutujukan pada beberapa anggota keluargaku, Teman-temanku dan tak ketinggalan.... Untuk Peter, Hans, Hendrick,William, juga si ompong Janshen.
Tentu saja, mustahil aku memamerkan isi surat untuk keluarga dan teman-temanku dibuku ini.Namun, rasanya tak mengapa jika aku memperlihatkan surat-surat untuk kelima sahabatku.
Maafkan jika kalian menganggapku aneh,berlebihan.Aku memang begini.... Terlalu dramatis!
🍁