Mang Sanip

48 1 0
                                    

Jum’at kliwon, di tempat guruku di Banten selalu berkumpul para murid-murid lama yang masih punya waktu untuk saling mempererat jalinan silaturahmi, kadang aku juga selalu berusaha menyempatkan diri untuk datang kepada guru, sungkem dan menuang kerinduan dengan guru juga teman seperjuangan, dan saling bertukar kisah, ada saja kisah yang aneh di antara kami untuk diceritakan yang selalu mengiringi perjuangan kami.

Duduk mengitari kopi, kadang satu gelas diminum bareng-bareng, bukan karena tak ada kopi, sebab nilai kebersamaan itu lebih mempererat ikatan hati, ada si Amir yang tubuhnya kurus seperti lidi, padahal tiap hari juga porsi makanan juga sama, jadi heran kenapa tubuhnya kurus sekali juga tinggi, mungkin setiap makan langsung dibuang di kamar kecil, sehingga pengeluaran sama pemasukan jauh berbeda, ada si Ahsin, yang tubuhnya kurus lebih tipis dari triplek, memandangnya saja seperti merasa kasihan, sering dikasih uang orang karena dikira anak yatim piatu, atau si Lanang yang lebih suka memanjangkan jenggotnya, kali aja apa yang dimakan masuk semua dikonsumsi jenggotnya, sehingga untuk gizi tubuhnya tak kebagian, dan banyak teman-teman yang lain, yang semuanya mengambil tempat duduknya masing-masing, aku juga tak banyak yang kenal, karena kami murid dari angkatan di masa dan kurun berbeda-beda, kali ini yang banyak bercerita si Petruk, aku sendiri sampai lupa nama aslinya, karena banyak yang memanggil begitu, dia dari Bogor, si Petruk bercerita:

“Wah ini sudah mulai dekat bulan romadhon, jadi ingat dulu sama kyai waktu bulan romadhon..” kata si Petruk sambil menyalakan rokok Djisamsoe kesukaannya.

“Memang ada cerita apa?” tanya Lanang.

“Dulu pas di gunung putri, sama kyai, kita semua mau buka, tapi ndak ada yang mau dipakai buka, kyai nanya sama kita semua, ada beberapa orang,

“Ini enakan buka pakai apa?” tanya kyai.

“Enakan buka pakai sarden ikan kyai…” jawab Mang Sanip.

“Yang lain sukanya makan pakai apa?” tanya kyai pada yang lain.

Yang lain ditanya juga bingung, karena memang tidak ada apa-apa untuk dimasak, atau dimakan, tapi kami jawab bareng, “Sarden juga boleh kyai.”

“Baik tunggu sebentar.” kata kyai, lalu kyai masuk ke dalam kamar, dan sebentar kemudian keluar kamar, dengan memanggul berkaleng-kaleng sarden, masih hangat.

Semua heran dan bertanya. “Wah banyak banget kyai, sarden dari mana?”

“Ini sarden dari pabriknya, ayo dimasak,” kata kyai, dan yang tugas masak pun masak, sementara aku sama Mang Sanip.

“Mang Sanip, minumannya ini belum ya…?” tanya kyai.

“Iya kyai..” jawab Mang Sanip.

“Wah enakan kalau puasa itu minumnya pakai es kelapa.” kata kyai. “Sana ambil kelapa di pohon.” perintah kyai sama mang Sanip.

“Wah tak enak kyai, kalau tidak ada sirupnya.” jawab Mang Sanip.

“Enaknya pakai sirup apa?” tanya kyai.

“Paling enak pakai sirup marjan kyai, yang rasa strawberri.” jawab mang Sanip mantap.

“Petruk…, coba ambilin lilin merah di pojokan itu.” kata kyai memerintahku. Dan aku segera mengambil lilin besar berwarna merah yang ditaruh di pojokan ruangan yang biasanya untuk penerangan kalau lagi PLN mati.

Sama Kyai lilin merah yang ku berikan kemudian diserut dengan pisau, menyerupai botol, dan setelah menyerupai botol, lalu kyai berkata.

“Sini mang Sanip, udah jadi ini, coba dipegang ini,” kata kyai, menyerahkan lilin yang menyerupai botol sirup, kepada mang Sanip, dan mang Sanip seperti orang bodoh saja mengikuti memegang apa yang diperintahkan kyai,

“Nah sekarang mang Sanip tutup mata.” perintah kyai,

Mang Sanip pun menutup mata, dan tubuhnya yang sedang duduk bersila itu diputar sama kyai, dan aku sendiri memperhatikan, jadi heran karena lilin yang dipegang mang Sanip sudah berubah jadi sirup marjan yang rasa strawberri.

“Sudah buka mata.” kata kyai. Mang Sanip lebih heran lagi, melihat apa yang dipegangnya, karena lilin telah berubah menjadi sirup dalam botol,

“Udah sana, kelapanya diambil, dibuat minuman,” kata kyai.

“Ah tak mau kyai, ini bukan sirup, ini lilin,” kata mang Sanip benar-benar tak mau, sampai sudah dibuat sirup dan diminum sama yang lain, mang Sanip sama sekali tak mau meminumnya, karena dia yakin dia pegang kuat-kuat, kalau lilin itu bukan sirup, dan tak mungkin berubah menjadi sirup, walau kenyataannya berubah menjadi sirup.

Begitulah cerita dari Petruk soal sang kyai, cerita itu masih banyak dan akan selalu ku tulis, tapi kyai selalu mengatakan, itu bukan karomah, itu adalah anugerah Alloh… Alloh selalu memberi anugerah kepada hamba yang diinginkannya, tak siapapun bisa menolaknya

Kyai Nur CahyaningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang