Sebelum menganggur, aku pernah memiliki usaha rumahan yang hanya menjualkan produk lewat media sosial. Aku sedikit terlatih dalam berdagang lewat media sosial. Saat itu aku sangat tak suka mendengarkan nasehat negatif maupun positif atau semacam pujian. Bisa dibilang aku dulu orangnya sangat tak jelas dan itu yang kemungkinan membuat usahaku bangkrut.
Waktu usaha masih maju, banyak sekali yang ku rekrut untuk jadi tim penjual. Aku sedikit bisa melihat celah untuk menaikan omset penjualan. Melihat tingginya permintaan, ku coba memperbanyak stok produk, kemudian membuka pendaftaran tim penjual bagi mereka yang ingin mendapatkan penghasilan sampingan. Untuk dapat bergabung ke dalam tim penjual syaratnya berbayar. Di awal aku memasang tarif 50.000, kemudian lama-kelamaan biaya pendaftaran tim naik menjadi 300.000 karena banyak yang mau ikut.
Prinsip yang diberlakukan kepada tim penjual adalah sama-sama untung. Mereka yang tergabung dalam tim, bisa berpenghasilan cukup menggunakan Smartphone saja, dan bisa dikerjakan sambil koloran tanpa harus pergi ke tempatku. Mereka juga yang tergabung, meski tak berjualan tetap bisa mendapat untung. Sebab, harga khusus tim penjual sangat jauh dari harga jual umumnya. Aku sebenarnya hanya mengambil untung sangat kecil untuk satu produknya, namun kalau dikalikan banyak lumayan besar juga untungnya.
Tak terasa usahaku semakin lama semakin maju. Berkat tak pandainya dalam menahan diri akan nafsu keinginan-keinginan dunia dan tak pernah mengikut sertakan Tuhan di dalam proses, akhirnya usahaku bangkrut. Aku sering sekali kecolongan tak sadar ternyata sudah menggunakan modal untuk berbelanja barang yang tak penting.
Dulu, sempat ingin mengkredit rumah, karena merasa bisa dan sangat percaya diri sekali dengan kemampuan berwirausahaku. Aku mencoba untuk kredit, namun tak jadi karena merasa di tipu. Padahal sebelum transaksi sudah di ingatkan oleh ibu. Sebelum transaksi ibu berkata,
“Jafar. . . Sabar saja dulu jangan terburu-buru.” Kata ibu.
“Nggak apa-apa bu, uang bisa dicari dan ini bisa menyemangati Jafar untuk selalu berusaha.” Jawabku dengan kepercayaan diri yang tinggi.
“Ya terserah Jafar, ibu hanya mengingatkan, mending uangnya untuk mengembangkan usahamu saja dulu.” Ucap ibu yang sedikit merasa khawatir padaku.
Mendengar nasehat ibu, sebenarnya saat itu aku bingung dan sangat ragu untuk melanjutkan transaksi tersebut. Namun, saat waktu transaksi tiba, secara tak sadar aku lupa dengan pesan nasehat ibu untuk menunda transaksinya. Tanpa ragu-ragu setelah cek lokasi, aku langsung menyetujui transaksi dan memberikan uang muka sebesar 7 juta kepada marketing rumah tersebut. Tak terasa waktu sebulan telah berlalu, tiba-tiba marketing rumah tersebut menghubungiku,
“Asalamualaikum selamat siang pak Jafar”
“Iya selamat siang, gimana pak rumah saya?” Tanyaku langsung sebab rasa penasaran yang cukup tinggi.
“Begini bapak, setelah kita survei kemaren berdasarkan data-data yang di berikan, kita meng-Acc-kan permintaan bapak, tetapi syaratnya bapak harus menambahkan uang muka sebesar 7 juta lagi.” Ucap marketing itu kepadaku.
“Loh kok gitu pak ?” Mendengar itu aku sedikit kesal. Aku merasa marketing tersebut sedang ingin menipuku.
“Iya bapak, ini sudah menjadi keputusan perusahaan pak.” Ujar marketing tersebut untuk meyakinkanku.
“Waduh kalau gini bukan Acc namanya pak, ya sudahlah nggak jadi saya ngambil rumahnya.” Jawabku dengan nada yang sangat kesal kepada marketing tersebut.
“Iya pak bisa, namun uang mukanya kembali hanya lima juta ya pak sesuai perjanjian di awal dan uangnya bisa di ambil 6 bulan lagi ya pak.” Jawab marketing itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAJASILAN (Selesai)
SpiritualCajasilan adalah Sebuah kisah perjalanan baik dari yang terlihat, terdengar, dan terasa. Dibungkus menjadi kata yang kemudian ditambah menjadi kalimat-kalimat panjang sehingga menjadi sebuah cerita kisah yang mungkin bisa menjadi manfaat. Perjalana...