Bab 19. Peran

1 1 0
                                    

Hari selasa adalah hari dimana aku selalu mengunjungi ibu. Dengan motor matic milik kakek, aku bergegas menuju kesana dengan membawa uang yang dititipkan oleh adikku yang selalu dititipkan untuk di berikan kepada ibu. Sesampai di sana aku mengambil nomor antrian. Tak lama kemudian nomor antriannya di panggil untuk segera masuk. Saat masuk, datanglah si pria berkulit sedikit hitam dan satunya lagi putih berbadan tegap berseragam biru menghampiriku memeriksa barang bawaan dan pakaian yang aku kenakan. Ketika selesai, muncul sesosok wanita berjilbab biru di sampingku dengan senyuman manis yang kaku ia menempelkan cap sebagai tanda pengunjung. Setelah itu ibu pun di panggil dengan menggunakan microphone.

Akhirnya ibu datang, kemudian aku segera menyalaminya. Saat itu erlihat ibu sangat berbeda sekali dari yang sebelumnya. Dengan muka yang berseri-seri tersenyum bagai ibu bidadari menyapa anaknya. Berbeda sekali dengan ibu yang dahulu, yang keningnya selalu mengkerut bagai gelombang tsunami yang ingin menghantam sebuah Negara, sebab banyak beban pikiran yang ditampungnya waku itu.

"Gimana bu udah satu tahun di sini, hehe?" Tanyaku sambil tersenyum.

"Yang pastinya ibu disini nggak pusing mikirin kontrakan, listrik, dan bayaran lainnya. Ibu lebih sedikit tenang." Sambil tersenyum ibu menjawab.

"Sepertinya memang inilah yang terbaik ya bu, liat ibu sekarang shalat lima waktu tak pernah tinggal, shalat dhuha dikerjakan terus, puasa senin kamis juga di jalankan." Ucapku yang sangat bersyukut berkat teguran cinta yang datang kedalam keluargaku.

"Iya ibu di sini lebih tenang, di sini malah seperti pesantren bagi ibu. Seminggu sekali ada ceramah dan ibu sering mendengarkan ceramah pak ustadz." Sambung ibu dengan tenang yang terlihat seperti punya semangat baru untuk menjalani kehidupan yang baru.

"Di sini ibu jadi banyak lebih belajar tentang agama, Tuhan memang Maha Tahu ya, apa yang terbaik bagi hambanya." Ucap ibu melanjutkan ceritanya.

"Iya bu, coba bayangkan bu kalau seandainya nggak ada masalah ini. saat itu kan kita sedang jatuh-jatuhnya. Usaha jafar sudah bangkrut dan duit kontrakan sudah menunggu. Kalau ibu nggak di sini dulu kita mau tinggal dimana ya bu. Hehe. Kemungkinan besar kita akan lebih melarat dan lebih tersesat lagi ya bu" Jawabku sambil mengingat masa lalu yang berat dulu.

"Iya, ini memanglah sudah menjadi takdir untuk kita." Ucap ibu dengan bijaknya. Ibu sangat berbeda sekali dari waktu yang pertama masuk disini.

"Ya sudah Jafar pulang dulu ya bu, doain Jafar semoga dapat pekerjaan, dan saat ibu keluar nanti bisa bukakan ibu usaha rumah makan." Sambungku dengan niat yang tulus untuk membuktikan itu berbarengan dengan seruan waktu habis dari penjaga.

"Iya, doa ibu selalu menyertakan kalian, ya udah hati-hati jangan lupa makan ya." Ucap ibu yang khawatir karena aku terkadang suka telat makan. Hehe

"Oke siap bu"

Berkat teguran cinta yang memaksa untuk kembali, sekarang sedikit tampak oleh aku dan keluarga akan hakekat dari perjalanan hidup yang telah di lalui. Sepulang dari tempat ibu.

Saat ini aku masih harus belajar dan terus mencari tahu, menambah ilmu, dan wawasan agar bisa kembali dengan selamat dunia dan akherat. Aku harus membiasakan diri untuk mentaati perintah dan menjauhi larangan Nya. Aku tak ingin kembali seperti dulu yang selalu mengkhianati Tuhan yang menciptakan diriku dengan penuh kasih sayang. Aku harus selalu meminta perlindungan setiap saat agar tak tersesat di dalam perjalanan lagi. Sungguh teguran cinta yang memaksa untuk kembali itu telah menghilangkan semuanya yang ku punya, mulai dari keinginan, tujuan, dan impian duniawiku. Namun, Aku bersyukur karena Tuhan sepertinya menuntunku untuk menemukan tujuan baru yang lebih baik. Tujuan ini insyaallah akan menjadi kendaraanku dalam berjalan kepada Nya.

CAJASILAN (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang