masa kelam

1.1K 131 23
                                    

Seana bergegas keluar dari kamar Randi. Dia merutuki matanya yang bisa-bisa terlena melihat bisep Randi yang menggoda iman. Seana gadis normal, jadi wajar jika dia juga menyukai cowok berbadan tegap seperti Randi.

Seana mengatur napasnya yang masih memburu. Benar-benar memacu adrenalin. Hampir saja dia pingsan saat Randi berjalan mendekatinya, sungguh itu suasana yang ... ah, tak bisa Seana bayangkan.

"Kak Sea!"

Seana tersentak oleh suara Ranti yang sudah berdiri di dekatnya. Sebisa mungkin Seana menormalkan ekspresinya, yang masih tampak gugup.

"Kok di luar ...?"

"Aku ke bawah dulu ya," kata Seana langsung pergi begitu saja.

Ranti jadi heran dengan sikap Seana yang terlihat salah tingkah. Ada apa? Ranti menggelengkan kepalanya, bersikap bodo amat. Lagi pula bukan urusan dia ini.

Ranti kembali melanjutkan niatnya, dia hendak mengetuk pintu kamar Randi. Namun tiba-tiba saja pintu terbuka, membuat Ranti memekik saking kagetnya.

"Apa?" Randi keluar, menaikkan sebelah alisnya saat mendapati Ranti di depan kamarnya.

"Ish, ngeselin banget si Kak Randi! Dipanggil Bunda." Ranti langsung berbalik, kembali turun ke meja makan diikuti Randi di belakangnya.

Kebetulan papa Randi sudah pulang, jadi mereka kini berkumpul di meja makan. Papa Randi sangat ramah, tak beda jauh dengan istrinya.

Seana sangat nyaman berada ditengah-tengah keluarga Randi yang begitu harmonis. Mengingatkannya pada keluarganya dulu, sebelum semua musibah itu menghantam keluarga kecilnya.

"Seana," panggil papa Randi.

"Iya. Om." Seana mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap papa Randi.

"Kamu udah jengukin papa kamu?"

Seana terdiam, tiba-tiba perasaannya jadi tak karuan saat papa Randi menyinggung soal papanya. Seana memang belum pernah menjenguk papanya, terakhir kali dia hanya telepon itu pun cuma sekali. Setelah itu Seana tak lagi mengangkat telepon dari papanya. Sementara sang mama entahlah, bahkan Seana tidak tahu apakah wanita itu masih hidup atau gak.

"Seana." Genggaman tangan bunda Randi, menyadarkannya dari lamunan. "Papa kamu orang baik sayang. Jangan benci papa kamu, dia sangat khawatir dengan keadaan kamu."

Seana menatap lekat wajah bunda Randi. "Tante kenal papa saya?" Wanita itu menoleh pada suaminya, lalu beralih menatap Seana. Dia mengangguk, tersenyum hangat pada Seana.

"Kebetulan Om yang tangani kasus papa kamu, Seana. Beliau juga meminta Om buat jagain kamu. Jadi jangan sungkan pada kami," ujar papa Randi.

Seana terdiam, meresapi perkataan papa Randi. Jadi om Saputra pengacara papa? Seana kembali  bimbang, perasaannya berkecamuk. Rasa sesak kembali memenuhi hatinya.

Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Seana hanya memilih diam, sampai acara makan malam selesai. Kini dia duduk di ayunan taman komplek rumahnya, tentu saja dengan Randi yang selalu mengikutinya.

"Jadi ... kamu tahu semuanya?" Seana menoleh, menatap Randi yang duduk di ayunan sampingnya.

Randi menggeleng, matanya menatap lurus ke depan. "Gue baru tahu tadi. Gue gak pernah kepoin siapa client ayah."

Seana kembali menatap ke depan. Dugaannya salah, Seana pikir Randi baik padanya karena dia anak client papanya. Keduanya kini memilih diam, menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajah.

"Lagi pula dia bukan bokap gue," celetuk  Randi.

"Hah?!" Seana terkejut dengan pengakuan Randi yang tiba-tiba.

"Bokap gue udah meninggal." Seana mengamati ekspresi Randi yang berubah, terpancar raut kesedihan yang begitu mendalam. Sorot matanya sayu, seolah cowok itu menahan beban hidup yang begitu menyakitkan. "Gue gak beda jauh sama lo." Randi menoleh pada Seana.

Seana tak bereaksi, dia hanya menatap Randi. Menunggu cowok itu melanjutkan ucapannya.

"Dia didakwa karena kasus tabrak lari, yang menewaskan seorang wanita ...." Randi menunduk, menguatkan hatinya ketika luka lama itu di buka kembali. "Padahal wanita itu yang lari ke tengah jalan, sengaja menabrakkan diri saat mobil bokap gue melintas. Tapi sialnya, di sana gak ada CCTV."

Randi menghela napas lelah, dia mendongak menghalau air mata yang menerobos keluar. "Bokap gue udah jelasin kronologisnya, bahkan dia bersikap kooperatif dengan kepolisian. Tapi ... kesaksian saksi mata di TKP justru menjerumuskan bokap gue ke penjara."

Seana tak menyangka jika Randi punya masa lalu yang begitu kelam, tak beda jauh dengan dirinya.

"Sejak saat itu gue hidup dalam bayang-bayang kehancuran. Di cap jadi anak pembunuh, dikucilkan oleh lingkungan, dijauhi oleh semua orang bahkan gue dan bunda sering mendapat perlakuan buruk dari orang-orang yang tidak tahu apa-apa tapi sok tahu segalanya." Randi tersenyum miris.

"Tak ada satupun keluarga yang mau menampung kami. Hingga akhirnya kami luntang lantung dijalanan karena di usir dari rumah, beruntung ada ayah Saputra yang nemuin kami di pinggir jalan. Dia sahabat ayah." Randi kembali menghela napas panjangnya.

"Ayah Saputra bantu bebasin ayah. Tapi ...." Randi menutup wajahnya, tubuhnya bergetar saat isakan itu lolos.

Seana tak mengerti kenapa Randi tiba-tiba menangis. Dia mengulurkan tangannya, mengusap lembut punggung Randi.

"Lo tahu apa yang terjadi?" Randi menoleh pada Seana. Matanya berkaca-kaca. "Ayah meninggal!" Seana tercengang mendengar hal itu. "Suami korban gak terima karena ayah bebas, dia tusuk perut ayah saat keluar dari ruang sidang. Bahkan gue sama bunda belum sempet ketemu ayah." Randi mengusap sudut matanya. Berbalik menghadap Seana, tangannya memegang kedua bahu gadis itu.

"Itu kenapa gue bilang sama lo, jangan benci ayah lo. Jangan sampai kebencian tak mendasar itu bikin lo nyesel suatu hari. Dulu gue benci ayah. Gue gak mau ketemu ayah, walaupun hati kecil gue bilang ayah gak bersalah tapi kebencian gue justru bikin gue jadi manusia egois."

Seana tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kini di pikirannya hanya ada wajah sang papa, penyesalan itu kembali menelusup ke dalam hatinya.

"Lo masih punya kesempatan, jangan sia-siain itu."

Mereka kembali diam, Seana meresapi semua kata-kata Randi. Berusaha sekuat tenaga untuk berdamai dengan keadaan. Sementara Randi menenangkan diri, berusaha ikhlas menerima masa lalu yang sulit untuk dilupakan itu.

Hingga rintik hujan menyadarkan keduanya. Randi bangkit berdiri, mengulurkan tangannya pada Seana. "Ayo pulang."

Seana tersenyum tipis, menyambut hangat uluran tangan Randi. Keduanya pun berjalan beriringan. Randi menggenggam erat tangan Seana.

Ditengah perjalanan rintik hujan berganti menjadi gerimis. Randi melepaskan jaketnya untuk menutupi kepala Seana. Mereka pun berlari menuju rumah sebelum hujan semakin deras.

"Kamu gak mau main hujan-hujanan?" teriak Seana.

Randi menggeleng. "Gak usah aneh-aneh. Besok lo sekolah, kalo sakit gimana?"

"Padahal aku pengen," kata Seana. Tapi Randi tak akan mengizinkannya.

Langkah mereka semakin cepat karena gerimis semakin deras. Sedikit lagi mereka sampai, tiba-tiba saja keduanya berhenti. Mata Seana membulat saat melihat cowok berdiri di depan gerbang rumahnya.

Cowok itu menyadari kedatangan mereka, dia berbalik dan saat itulah kedua matanya bersitubruk dengan mata Seana dan Randi.

"Raka?" Seana terkejut mendapati cowok itu di depan gerbang rumahnya. Lalu matanya beralih pada bungan yang terjatuh dari genggaman tangan Raka.

Raka menatap nanar tangan Randi yang masih menggenggam tangan Seana. Dia mematung di tempat, tak peduli jika gerimis semakin deras mengguyur kepalanya.

Yang dia tahu perasaanya sakit melihat hal itu di depan matanya. Orang yang dicintai telah berpaling darinya dan itu semua karena kebodohannya.

Satu kata buar Raka 😏

Surat Cinta untuk Seana  (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang