Hari ini, untuk kesekian kali aku pindah sekolah dengan alasan yang sama. Ayah tiriku dipindahkan ke kota ini, kota kelahiranku dulu.
Aku pikir meninggalkan kota ini, akan menghapus kenangan menyakitkan yang menyiksaku dulu. Tapi nyatanya itu hanya sesaat, ketika aku melangkahkan kakiku ke rumah lama kami semua perasaan sakit itu kembali. Bayangan mengerikan terus mengusik tidurku.
Aku tak pernah cerita hal itu dengan bunda, aku tak ingin membuat beliau kembali terpuruk dengan masa lalu. Aku berusaha bangkit, meski rasanya itu terlalu sulit.
Hingga pertemuan ku dengan gadis itu. Entah kenapa, melihat gadis itu di belakang sekolah mengingatkan aku pada masa-masa terkelamku. Masa di mana putus asa adalah pilihan terakhir yang tersisa.
Aku duduk di sana tanpa dia sadari. Dia menangis tanpa henti dengan mencurahkan semua isi hatinya. Semua kegelisahan dan rasa sakit karena dikecewakan.
Aku masih ingin di sana, tapi Bunda memintaku kembali ke ruang kepala sekolah. Terpaksa aku harus meninggalkannya, aku meletakkan sapu tangan keberuntungan untuknya. Berharap dia bisa sedikit termotivasi dengan apa yang tertulis di sana. Kata-kata yang selalu menguatkanku selama ini.
Hari itu aku tak langsung pulang dengan bunda, aku memilih melihat-lihat sekolah baruku. Hingga waktu berlalu dengan cepat, bel sekolah berbunyi. Niatnya aku ingin pulang, tapi hati kecilku menuntun ke kerumunan di Koridor depan kelas.
Aku tercekat melihat gadis itu, orang yang sama. Bagaimana bisa mereka melakukan itu, melemparinya telur busuk. Mencaci maki dengan kata-kata menyakitkan.
Aku ingin pergi dan tak peduli dengan hal itu, bukan urusanku. Namun lagi-lagi rasa empatiku mendorong untuk berbuat lebih. Aku berjalan ke arahnya, menyampirkan jaket kulit ke pundaknya. Tanpa berkata apa pun aku mengangkatnya, tak peduli dengan tatapan mereka yang menatapku tak suka.
Keesokan hari aku kembali berjumpa dengannya. Dia yang selalu jadi objek perundungan, namun masih bisa berbaik hati memaafkan semua perbuatan itu.
Takdir memang tak bisa ditebak, ketika kami harus duduk sebangku. Dia yang ramah, tapi aku tak bisa membalas keramahannya. Bukan tak ingin. Hanya saja, sedikit canggung bagiku karena aku tidak terbiasa ramah dengan orang lain. Hidupku terlalu tertutup.
Entah apa yang Tuhan rencanakan, kenapa semua jadi seperti kebetulan yang terencana. Rumah lamaku ternyata berhadapan dengan rumahnya. Bunda menyuruhku memberikan roti buatannya ke tetangga baru.
Aku tampak gugup, bagaimana reaksi gadis itu saat melihatku? Sungguh tak terbayangkan. Benar saja, dia terdiam di depan pintu ketika mata kami saling bertubrukan. Aku langsung memberikannya dan berbalik pergi, tapi langkahku terhenti. Aku harus melakukannya, ya harus. Aku memberitahukan namaku dan semenjak itulah aku mulai memperhatikannya.
Seana Abimanyu. Pemilik senyum manis seindah pelangi.
Jakarta, Agustus -19
Seana membalik halaman buku catatan Randi, membaca setiap kata yang tertulis di dalamnya. Seana tak menyangka dengan apa yang baru saja dibacanya. Dia masih tak percaya, semua seperti mimpi belaka.
Seana kembali membaca bagian selanjutnya. Dia terdiam membaca kalimat panjang itu.
Bodoh!
Apa yang ada dipikiran gadis itu, aku benci melihatnya. Dia persis sepertiku dulu, yang putus asa dan memilih jalan pintas karena omongan sesat orang-orang gak ada otak.
Kupikir dia tak selemah aku dulu, nyatanya dia lebih lemah dari duagaanku. Aku masih tak habis pikir ketika dia benar-benar meloncat. Beruntung aku masih bisa menangkap tangannya, berusaha membantunya kembali naik.
Seana ingat, itu hari di mana dia hampir bunuh diri. Jadi Randi menolongnya karena rasa empati? Bibir Seana melengkung, membentuk senyuman tipis.
Dia kembali membaca satu persatu halaman, Randi menulis dengan detail semuanya. Bagaimana dia mengirimi Seana surat-surat misterius itu.
Aku mengikutinya, dia berlari ke sebuah danau yang tak jauh dari sekolahan. Gadis itu menangis, betapa cengengnya dia.
Beban hidupnya memang terlalu berat, bagaimana bisa dia menanggung semua itu sendirian. Hatiku mulai tergerak, aku membeli balon menyelipkan kertas di ujung talinya. Aku harap dia sedikit terhibur dengan tulisanku. Meski aku tak berharap banyak soal itu.
Seana kembali tersenyum, sudah dia duga. Randi memang dalang dibalik semuanya. Tapi kenapa cowok itu terus menutupinya. Seana terus membalik lembar demi lembar buku catatan Randi.
Membaca dengan seksama, hingga di lembar terakhir Seana mengernyit. Karena beberapa lembar kertas itu sudah dirobek.
Namun dia justru menemukan selembar foto dirinya, foto dia saat di mall. Seana bahkan tidak sadar saat Randi mengambil foto itu.
Seana membalik foto itu, membaca tulisan yang tertulis di belakangnya.“Ekspetasi yang tak mungkin jadi realita.”
Seana mengernyitkan dahinya, dia tak mengerti maksud kalimat itu. Ekspetasi yang seperti apa? Seana tak ingin berpikir terlalu jauh, dia tak ingin berharap terlalu lebih. Akan sakit sekali jika perkiraannya meleset.
Hari ini hari terakhirnya, nanti malam Seana akan berangkat ke Korea. Mungkinkah dia boleh menulis sedikit harapannya.
Seana menulis di buku catatan Randi, lembar paling belakang. Menuliskan apa yang tengah ia rasakan.
Terimakasih telah hadir, meski datang tanpa menyapa bukan berarti berpisah tanpa kata.
Meski pertemuan kita yang teramat singkat, namun mampu membuat cerita yang teramat begitu mengesankan. Terimakasih telah jadi lentera di hidupku, menjadi pelangi yang mewarnai hariku.
Terimakasih karena telah berbagi tawa, suka dan duka denganku. Meski aku tahu tak mudah menjadi seperti dirimu, yang tangguh tapi aku akan berusaha menjadi jauh lebih kuat menghadapi kenyataan.
Aku menunggumu, di bandara nanti malam. Jika kau membaca pesan ini dan kau datang, aku percaya jika Tuhan memang sudah menggariskan takdir kita berdua.
Namun jika kau terlambat membacanya dan tak sempat datang, kirimkan aku puisi jika ekspetasimu tentang kita.
Tapi jika kau telah membacanya dan enggan datang. Aku percaya masih ada hari esok untukku mengetuk pintu hatimu lewat doa yang aku panjatkan pada Tuhan.
Kau harapan yang selalu ingin aku wujudkan.
Dari yang kau anggap teman, Seana.
Seana tersenyum manis saat menyelesaikan tulisannya, dia meletakkan kembali foto tadi ke selipan buku. Belum sempat beranjak, Seana dikejutkan dengan knop pintu yang berbunyi.
Seana refleks menutup buku dan berbalik ke arah pintu. Matanya membulat melihat sosok tegap berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar.
"Randi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta untuk Seana (Completed)
Teen FictionSeana, salah satu primadona di SMA Pelita Harapan. Dia gadis multitalenta yang memiliki banyak bakat. Hidupnya nyaris sempurna, memiliki keluarga harmonis, harta berlimpah, pacar idaman, tak ada cela dalam hidupnya. Namun, semua itu berubah dalam se...