Teman

1.1K 122 15
                                    

Sudah setengah jam Randi menunggu Seana. Tapi gadis itu tak kunjung terlihat batang hidungnya. Randi mulai gusar. Dia melirik jam tangannya, lalu beralih menatap gerbang sekolah yang sudah sepi.

Randi memakai masker dan kupluk hodienya, dia nekad berjalan masuk. Matanya celingukan, memastikan tak ada yang mengenali dirinya. Randi segera berlari menuju kelas.

Randi berhenti, napasnya terengah. Dia bisa melihat Seana dari luar jendela, gadis itu tengah mengangkat kursi ke atas meja. Randi langsung masuk saat melihat Seana kesusahan mengangkat kursi itu sendirian.

"Randi!" pekik Seana, ketika Randi mengambil alih kursi dari tangannya. "Kamu ...?"

"Biar gue yang angkatin, lo sapu aja biar cepet kelar," ucap Randi. Cowok itu dengan cekatan mengangkat semua kursi yang tersisa.

Sedangkan Seana segera mengambil sapu. Keduanya bekerja tanpa suara. Sesekali Seana akan melirik Randi, tapi cowok itu tak sedikit pun melirik ke arahnya.

"Makasih," ucap Seana setelah pekerjaanya selesai.

"Hm. Ayok." Randi menarik lengannya, namun Seana justru terdiam memandangi tangannya. Randi yang menyadari hal itu pun seketika berbalik dan melepaskan tangan Seana. "Sorry." Randi tampak salah tingkah, dia langsung berbalik.

Seana mengikuti Randi di belakangnya, mereka berjalan keluar. Beruntung sekolahan sudah sepi, jadi tak ada yang memergoki Randi berada di sekolahan.

"Mau ke mana?" tanya Seana.

Kini mobil Randi sudah melaju di jalan raya. Cowok itu tampak fokus menatap ke depan.

"Ntar juga lo tahu," jawab Randi. "Minum gih." Randi menyodorkan botol minum pada Seana.

Seana tak menolak karena dia memang haus sedari tadi. Dia menenggak habis air yang tersisa setengah itu.

"Emang jadwal lo hari ini?" tanya Randi.

"Ha?" Seana menoleh, dia tak begitu fokus mendengar pertanyaan Randi. Pikirannya justru menerawang jauh, entah ke mana.

"Emang sekarang jadwal piket lo?" ulang Randi, memperjelas pertanyaanya. Seana menggeleng, tertunduk lesu. "Lalu?"

Bukannya menjawab gadis itu justru menyenderkan kepalanya ke kaca. "Ran," panggil Seana.

Randi tak menjawab, dia hanya melirik sekilas. Mengamati ekspresi Seana yang terlihat sedih.

"Kenapa kamu gak jauhin aku? Padahal semua anak gak mau deket-deket sama aku," tanya Seana.

"Karena gue gak punya alesan buat jauhin lo." Seana menoleh, menatap sendu Randi yang tampak fokus dengan jalanan di depannya.

"Tapi kan aku———"

"Anak koruptor? Anak pelakor?" Randi menepikan mobilnya di bahu jalan. Dia berbalik menghadap Seana. "Lalu kenapa? Selagi itu gak mengganggu buat gue. Lo kenapa si? Arggg ...." Randi mengerang mengacak-acak rambutnya. "Lo merusak suasana aja."

"Maaf," lirih Seana. Gadis itu menunduk, meremas jemarinya.

"Sea!" Randi menarik kedua bahu Seana agar menghadapnya. "Mungkin, lo emang gak bisa lepas dari identitas orangtua lo. Tapi bukan berarti lo harus nanggung semua ini sendirian. Lo gak harus terpuruk kaya gini, lo masih punya harapan buat lanjutin hidup!"

Seana diam, mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Randi. Harapan? Harapan yang seperti apa? Bahkan Seana sudah menyangsikan hal itu.

"Assshhh!!" Randi mengusap wajahnya dengan kasar. Melihat Seana hanya diam saja, mengingatkannya pada kejadian waktu itu. "Kenapa si lo jadi cewek selemah ini!"

Surat Cinta untuk Seana  (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang