"Gue benci lo! Harusnya lo gak ada, kenapa lo gak mati aja?!"
Mata Seana terbuka lebar, deru napasnya memburu. Kata-kata Bella sampai terbawa ke alam bawah sadarnya. Seana bangun secara perlahan, memegangi kepalanya yang berdenyut.
Seana meringis menahan perih di sudut bibirnya, dia bersandar lalu mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Hingga netranya tanpa sengaja melihat kertas berwarna pink di atas nakas.
Kertas itu diletakkan di bawah permen. Seana mengambilnya, sesuai dugaannya. Ada untaian kalimat yang tertulis di sana.
Percayalah, Tuhan tak akan membiarkan hambanya terluka sendirian. Akan selalu ada malaikat yang dikirimkan, entah bagaimana pun wujudnya.
Seana celingukan, tak ada siapa pun di sini. Lalu siapa?
Tiba-tiba saja pintu terbuka, Seana langsung menyembunyikan kertas itu ke belakang tubuhnya.
"Lo udah bangun?" tanya Randi yang berjalan membawa nampan di tangannya.
Seana hanya mengangguk, berusaha menormalkan ekspresinya yang sempat kaget. Seana mengamati wajah Randi. Terlintas dalam benaknya, apakah orang itu Randi? Bukankah dia yang sejak tadi di sini?
"Ran."
Randi bergumam, dia duduk di kursi samping bankar setelah meletakkan nampan di nakas.
"Apa kamu dari tadi di sini?" tanya Seana. Dia memperhatikan perubahan ekspresi cowok itu, Randi tampak berpikir sejenak. Lalu menggeleng.
"Gak. Gue barusan dari ruang guru, tadi pak Sam panggil gue ke sana."
Ada rasa tak puas saat mendengar jawaban Randi, seolah Seana berharap jika penulis surat misterius itu memang Randi.
"Kenapa?" Randi menaikkan sebelah alisnya. Memperhatikan wajah Seana yang murung. Namun dengan cepat Seana menggeleng, menampilkan senyumannya.
"Gak papa. Apa ada masalah? Kenapa kamu di panggil pak Sam?" Seana mengalihkan topik pembicaraan, agar Randi tak curiga.
"Oh, cuma bahas pelajaran doang. Tiga hari ini kan gue ketinggalan pelajaran." Seana mengangguk, tapi hatinya masih bertanya-tanya. Dia masih penasaran dengan pengirim surat itu.
Apa jangan-jangan Raka?
Gak mungkin! Seana terus menyangkal pikirannya. Tidak mungkin orang itu Raka, tapi ....
Ingatannya kembali berputar pada kejadian malam itu, di mana Raka menunggunya di depan gerbang. Raka membawakan dirinya bunga, bahkan akhir-akhir ini Raka juga sering mengirim pesan singkat. Walaupun sekedar kata maaf dan ungkapan penyesalan.
Tapi tetap saja itu begitu mengganggu, seperti puzzle yang terpecah dan harus ia rangkai agar kembali utuh.
"Why? Ada yang mengganggu pikiran lo?" Suara Randi menyadarkan Seana dari lamunannya.
Seana menggeleng, tersenyum kikuk pada Randi. Cowok itu mendekat, membuat degup jantung Seana tak beraturan. Rasanya seperti akan meledak. Seana tiba-tiba gugup saat Randi beralih duduk di sampingnya.
"Pasti sakit."
Deg
Seana terkesiap, jantunnya seperti berhenti sesaat. Bahkan tangannya refleks menahan tangan Randi yang tengah mengobati lukanya. Randi berdecak. Melepaskan tangannya.
"Sakit dikit doang, tahan." Randi menatap miris sudut bibir Seana yang berdarah.
Dengan hati-hati dia mengoleskan obat merah, lalu beralih pada pelipis Seana. Sementara Seana terdiam, pikirannya tak menentu. Ada hal aneh yang menggerayangi perasaanya, tapi entah itu apa.
"Jenguk bokap lo besok aja, kalo sekarang takutnya beliau malah khawatir liat muka lo bengep begini," kata Randi setelah selesai menempelkan plester di pelipis Seana.
Seana hanya mengangguk. Dia melirik Randi yang mengembalikan kotak obat itu pada tempatnya, lalu kembali duduk di sebelahnya. Membuat gemuruh hebat di hatinya, jantungnya kembali berdetak dengan cepat.
"Buka mulut lo." Randi menyodorkan sesendok bubur ke depan mulut Seana. Gadis itu menggeleng. Randi berdecak. "Buka sendiri apa gue bantu bukain!" ancam Randi.
Entah apa yang salah, tapi pikiran Seana malah menjurus ke hal yang tidak-tidak. Dia membekap mulutnya dengan kedua tangan sembari menggeleng.
"Oke." Randi meletakkan mangkok bubur ke nakas. Dia mendekat pada Seana menepis jarak antara keduanya.
"Awww ... Randi!" pekik Seana saat Randi menggelitikinya. "Geli," cicit Seana.
"Suruh siapa gak mau makan, emang enak." Randi terus menggelitiki perut Seana.
Tanpa mereka sadari ada seseorang yang sedari tadi berdiri di depan pintu UKS, melihat semua adegan itu.
Tangannya terkepal erat, merasakan sesak luar biasa di dalam dada.————
Randi merebahkan dirinya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya. Beberapa hari terlewatkan, dia menghabiskan waktunya bersama Seana.
Randi memejamkan mata, rasa lelah membuatnya mengantuk. Seharian ini dia menemani Seana mengunjungi ayahnya untuk pertama kali. Randi senang bisa melihat Seana kembali tersenyum, terlebih saat bertemu sang ayah tadi.
Bayangan gadis itu kembali mengusik pikirannya, senyuman Seana yang membuatnya senyum-senyum sendiri. Randi tak tahu kenapa hatinya menghangat setiap kali bersama gadis itu.
Randi bangun, tak bisa tidur jika bayangan Seana berputar-putar di otaknya. Dia turun dari ranjang, melangkah ke jendela. Kebetulan jendela kamar Randi menghadap ke rumah Seana, sehingga dia bisa memantaunya dari sini.
Randi mengerutkan keningnya ketika melihat rumah Seana gelap gulita. Dia melirik jam di nakas, menunjukkan pukul 23.00.
Apa listriknya dipadamkan?
Randi jadi gusar, bertepatan dengan suara ponselnya yang berbunyi. Dia segera mengangkatnya.
"Halo Se ...." Randi tercekat saat mendengar suara tangisan Seana. "Sea, lo gak papa?" Randi semakin panik ketika tak mendapati respon, tapi dia masih bisa mendengar suara isakan itu.
"Halo Sea!" Randi bergegas keluar, berlari menuruni tangga setelah mendengar suara benda pecah dari ujung sana.
"Randi, tolong ... aku takut," cicit Seana.
"Lo tenang, gue ke sana sekarang." Randi meraih tongkat baseball yang terbuat dari besi, berlari menuju rumah Seana.
Dia mencari meteran listrik terlebih dahulu, seperti dugaannya. Ada yang sengaja mematikannya, setelah menyalakan kembali Randi bergegas menuju pintu depan.
Sial!
Randi mengusap wajahnya dengan kasar, karena pintu depan di kunci dari dalam. Dia semakin panik, lalu berlari ke belakang rumah. Randi mencari sesuatu seperti kawat di tumpukan barang di samping pintu belakang.
Keringatnya bercucuran saat mencoba membobol pintu belakang, hanya bermodalkan kawat. Randi terus mencoba, hingga akhirnya pintu terbuka. Dia segera berlari ke lantai atas.
"Sea!"
"Seana!"
Randi membuka satu persatu pintu kamar, tapi tak kunjung mendapati Seana di dalamnya. Dia terus memanggil nama Seana. Hingga tiba di ujung ruangan, Randi langsung mendobrak kamar yang dikunci itu.
Seana memekik, gadis itu tampak pucat ketakutan setengah mati. Dia meringkuk di pojokan, memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar, seiring dengan tangisannya.
"Seana!"
Seana mengangkat wajahnya, menatap sayu Randi. "Randi?"
Randi langsung memeluk Seana, gadis itu menangis histeris. "Aku takut," cicitnya.
"Tenang aja, ada gue di sini." Randi mengelus rambut Seana. Matanya fokus memperhatikan sekitar, banyak pecahan kaca bertebaran.
Jendela kamar Seana pecah, ada seseorang yang sengaja melemparkan batu. Randi mengambil batu yang ada di sampingnya, ada kertas yang membungkus batu itu. Betapa terkejutnya Randi saat membuka kertas itu.
Ini baru permulaan, bitch!
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta untuk Seana (Completed)
Novela JuvenilSeana, salah satu primadona di SMA Pelita Harapan. Dia gadis multitalenta yang memiliki banyak bakat. Hidupnya nyaris sempurna, memiliki keluarga harmonis, harta berlimpah, pacar idaman, tak ada cela dalam hidupnya. Namun, semua itu berubah dalam se...