-Jangan diam-
SELEPAS kepergianmu, mungkin kau merasa risih. Kau merasa terganggu oleh teror-teror yang selalu aku ciptakan, oleh ratusan pesan yang selalu membanjiri kontak pesanmu dan pastinya tidak akan pernah mendapatkan balasan.Aku yakin kau merasa risih oleh banyaknya tuntunan dan paksaan dari diriku untuk memintamu kembali. Mati-matian aku mengetik pesan yang begitu panjang dengan harapan akan mendapatkan balasan. Nyatanya diam memang lebih berkuasa saat itu. Tak satu kata pun dari dirimu membuat ponselku berdering. Aku hanya bisa menarik napas panjang, berharap dan berdoa untuk kebaikan dirimu.
Jujur, aku takut kau menuai balasan. Aku takut jikalau nanti kau akan tersakiti seperti yang saat ini kau lakukan kepadaku. Sebenci-bencinya aku kepadamu, sedikit pun aku tidak pernah berniat agar kau menuai posisi yang sama.
Apa yang saat ini menyelimuti hatimu? Setahuku, kau adalah wanita lemah lembut, jujur, selalu terbuka, dan tidak pernah ingin terjangkit suatu masalah dengan seseorang. Kenapa perpisahan ini menepiskan segalanya? Kau begitu berubah, tidak lagi seperti saat aku kenal. Kini kau hening tanpa satu pun ucap yang melahirkan berbagai pertanyaan untuk diriku. Kau tidak lagi sportif. Kau lari dari semua keburukan yang kau ciptakan. Salahkah aku memperjuangkan kebenaranku? Salahkah aku memintamu kembali kejalan yang tepat. Hal apa yang sebenarnya kau cari? Masih kurangkah diri ini untuk melengkapi semua kekuranganmu? Atau, adakah kekuranganmu yang tidak bisa aku terima?
Dari awal bukanya sudah aku katakan bahwa dirimu indah tanpa satu pun cacat dalam mataku. Apa pun bentuk kekurangan akan kita lengkapi bersama. Apa kelebihan dia yang kini bersamamu? Bukankah aku juga mampu melakukan apa yang ia lakukan. Tidak usah lari, tolong jelaskan. Jangan lagi diam. Jujur, aku tak kuat harus menanggung sendirian. Malapetaka apa yang sedang kau sajikan? Hingga kehidupanku di penuhi oleh kekesalan seperti ini.
Kemarilah sejenak, aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu. Aku ingin menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki hati. Lihat kehancuran ini. Lihat air mata ini. Mereka tak henti-henti menuntut haknya. Hal yang kita mulai berdua tak mesti harus aku tanggung seorang diri. Tunjukkan tanggung jawabmu. Kau tahu bukan, bahwa lari dari kenyataan adalah sifat dari seseorang yang kalah.
Kau tidak seperti itu. Seseorang yang aku kenal baik-baik semestinya tidak pantas melakukan semua ini. Tolong, berbalik sebentar saja. Selesaikan apa yang mesti kita selesaikan. Aku tak ingin kita menjadi sepasang manusia yang saling menyimpan dendam. Aku tak ingin kita saling berdiam ketika berpapasan
Di sebuah persimpangan. Itu semua sangat memilukan.Aku tidak pernah ingin memiliki masalah dengan seseorang. Diam tidak akan menyelesaikan segalanya. Diam hanya akan mengantarkan kita pada dendam yang beranak pinak.
Jika memang ingin mengakhiri, mari kita bicarakan baik-baik. Bukankah demikian akan membuat kita saling lega. Selepas itu kau akan kubebaskan. Bebas dengan siapa saja yang ingin kau miliki. Bebas seperti apa kau ingin bertindak. Mudah saja sebenarnya. Jangan mempersulit keadaan seperti ini.
Next😁
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTEMPLASI
Non-Fictionsepenggal rindu kini bermain di antara deretan jarak yang terus berarak. cerita demi cerita yang kini gagal menjadi nyata, pergi menepi kesela pipi yang kian membasah. dalam lantunan doa-doa panjang yang tersenggal-senggal, ribuan sunyi kini memekak...