-Pergi tanpa pamit-
JAUH sekali rasanya perasaan kau dan aku sekarang. Sangat jauh. Seperti kapal yang tidak pernah lagi menyandar pada muara. Suaramu kini digantikan oleh rintihan ratap kerinduan. Senyummu terpaksa diwakilkan oleh tangisan. Indah matamu diwakilkan oleh sebuah sepi yang kekal dalam ingatan. Dahulu kita saling menjatuhkan diri ke dalam rasa cinta yang tumbuh dalam diri kita. Kata per kata yang kita ucapkan begitu sejuk di telinga. Kita sangat jauh dari tangisan dan akan selalu dekat dengan senyuman.
Apakah harus semua ini diakhiri? Apakah mesti kebahagiaan ini terhenti? Nyatanya memang begitu adanya. Kita tidak lagi berjarak seinci. Kita jauh, berkilo-kilometer jaraknya dari kasih sayang. Sudilah pada akhirnya kita bergegas untuk saling melupakan, mencampakkan, dan meruntuhkan seluruh sisa perasaan masing-masing. Tidak ada lagi rasa bahagia. Entah aku harus merasa sedih atau berusaha untuk menyelundupkan semua kesedihan. Satu hal yang aku tahu, tanpamu detak pada jantungku kini terasa lamban. Datik pada kesedihanku pun berjalan pelan. Hancur segalanya.
Andai semua kesedihan ini dapat berakhir dengan cara kembali membuka hati, mungkin kini semuanya sudah terasa ringan. Namun, nyatanya sedikit pun aku tidak pernah mampu untuk melakukan hal itu. Aku terkunci, dan kuncinya masih tersimpan dalam dirimu. Mengenalmu dahulu adalah suatu anugerah terindah yang pernah aku miliki, dan dalam sekejap mata seluruh pandangan itu bertukar dengan rasa benci. Bukan membenci dirimu. Aku hanya membenci sifatmu yang dengan seenaknya pergi tanpa satu pun alasan.
Bukankah semestinya kepergian harus diiringi dengan berpamitan? Terlepas nantinya kau akan kembali atau tidak, itu hakmu. Atau, cinta memang mengesampingkan kesopanan? Tak perlu norma, etika, agar dapat berbahagia dengan cara-cara yang kerap dilakukan oleh seorang pecundang. Bukankah kedatangan akan selalu diawali dengan menampakkan muka? Lalu, ke mana punggungmu saat kau pergi? Kenapa aku tak melihatnya? Jangankan kau berpamitan atau mengutarakan sebuah kata untuk mengakhiri, bahkan langkah kakimu pun aku tidak melihat.
Mahir sekali, sungguh tinggi ilmumu dalam urusan menghilangkan diri. Entah aku yang buta, atau kau yang berlari terlalu kencang. Sekejap kau hilang, benar-benar lenyap. Aku pun ingin mempelajari kepandaian seperti itu. Kali saja sewaktu-waktu kau kembali, maka akan aku perlihatkan juga cara meninggalkan seperti yang kau lakukan. Bukan berniat membalas dendam, hanya ingin memberikanmu pelajaran bahwa yang demikian sungguh membuat hancur kehidupan.
Semoga kau sadar dan tidak lagi mengulang kesalahanmu dahulu. Aku takut jika seseorang yang kini menjalin asmara denganmu, juga memiliki nasib yang sama sepertiku. Tidak akan kuat dirinya menanggung hal tersebut. Percayalah, yang demikian sungguh terasa sangat menyakitkan.
"kita pernah berada pada satu genggaman erat dengan jemari kita yang saling bersilang sangat rapat. Pada detik-detik yang terus beranjak, ada yang perlahan-lahan melonggar untuk kemudian melanggar janji-janji yang telah terlontar. Cinta yang tadinya menghidupkan, menjadi bingkai-bingkai yang tertata rapi dalam sudut-sudut perasaan yang telah memudar. Kini, segalanya telah terlepas. Hidup pada suatu tempat di mana dekapan begitu sulit untuk didapatkan. Dan, yang tersisa hanyalah ingatan-ingatan yang berusaha untuk dilelapkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
KONTEMPLASI
Non-Fictionsepenggal rindu kini bermain di antara deretan jarak yang terus berarak. cerita demi cerita yang kini gagal menjadi nyata, pergi menepi kesela pipi yang kian membasah. dalam lantunan doa-doa panjang yang tersenggal-senggal, ribuan sunyi kini memekak...